Dongeng tentang Siapa Aku: “Pendongeng” Hebat Itu Bernama Agustinus Wibowo (4)
Oleh Hernowo
“Aku bermain dengan dualisme identitas. Aku bukan si orang Indonosia berpeci, melainkan mahasiswa asal provinsi Guangdong. Untuk penyamaran ini, aku sungguh harus berterima kasih atas wajah Mongoloid warisan nenek moyang.”
—Agustinus Wibowo, Titik Nol, h. 30
Begitu selesai mencicipi buku Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan, aku teringat kata-kata Kang Jalal yang sering aku kutip ketika aku sedang mendongeng (baca: menulis) atau membaca tentang dongeng yang disampaikan oleh pendongeng modern seperti Dan Brown ataupun J.K. Rowling. Kata-kata Kang Jalal sendiri aku abadikan di dalam buku “dongeng”-ku—meskipun aku tidak piawai mendongeng—yang berjudul Aku Ingin Bunuh Harry Potter!
Bagi yang belum pernah mendengar kata-kata Kang Jalal yang sering aku kutip, berikut ini adalah kata-kata itu: “Cerita, kisah, atau dongeng secara ilmiah disebut narrative. Manusia adalah makhluk yang suka bercerita dan membangun hidupnya berdasarkan cerita yang dipercayainya. Kita cenderung menerima cerita dan menyampaikannya dalam bentuk cerita pula. Tanpa cerita, hidup kita akan karut-marut. Dengan cerita, kita mampu menyusun dan menghimpun pernak-pernik kehidupan yang berserakan. Narrative, seperti pernah diucapkan oleh Dilthey seorang filsuf Jerman, adalah pengorganisasian hidup (Zusammenhang des Lebens).”
Mantra—kalau boleh kata-kata Kang Jalal itu disebut mantra—yang suka aku kutip ketika aku bercerita (menulis) adalah “Tanpa cerita, hidup kita akan karut-marut. Dengan cerita, kita mampu menyusun dan menghimpun pernak-pernik kehidupan yang berserakan.Narrative, seperti pernah diucapkan oleh Dilthey seorang filsuf Jerman, adalah pengorganisasian hidup (Zusammenhang des Lebens).” Aku suka menulis dan membiasakan sesering mungkin menulis (bercerita) dengan tujuan-utama agar aku dapat terus mempraktikkan “Zusammenhang des Lebens”. Keren ‘kan?
Nah, ketika aku membaca Titik Nol aku bertemu dengan seseorang yang tak sekadar suka bercerita atau mendongeng tetapi dia piawai sekali mendongeng. Kata-kata ciptaannya berubah menjadi “sihir” yang memaksaku untuk terus membaca dongengannya. Aku terpesona. Padahal yang didongengkan adalah kisah tentang sebuah perjalanan. Dan sudah banyak travel writer yang menulis sebagaimana dia menulis. Hanya, entah kenapa, ada hal yang tidak biasa dalam setiap ceritanya.
Aku sesungguhnya terlambat membaca Titik Nol. Ketika aku mulai mencicipi Titik Nol, Agustinus sudah menerbitkan dua buku dongengnya yang lain—Selimut Debu dan Garis Batas. Itu kuketahui dari halaman terakhir Titik Nol yang kubeli. Dua buku tambahannya itu diiklankan di Titik Nol. Dan yang mengagumkan, buku dongengannya termasuk buku yang tebal. Titik Nol dan Garis Batas 500 halaman lebih sedangkan Selimut Debu hampir mencapai 500 halaman. Luar biasa!
Aku diberitahu kalau Titik Nol merupakan buku yang sangat mengasyikkan untuk dibaca baru minggu lalu. Dua sahabatku, suami-istri, bertamu ke rumah. Kedua sahabatku ini bercerita dengan menarik tentang karya-karyaAgustinus Wibowo. Aku terkesima. Tampak bahwa si penulis tidak sekadar bertindak sebagai travel writer. Ada upaya serius dari si penulis untuk menangkap makna yang ada di balik kisah tentang tempat-tempat yang dikunjunginya. Dan ketika aku mencicipi sendiri tulisannya, Wow!, ada banyak hal baru dan mengesankan yang kuperoleh….[]
“Dari kursi plastik putih di samping ranjang, sembari mengipasi tubuh Mama yang terbaring miring, sayup-sayup kumulai ceritaku tentang negeri nirwana.”
—Agustinus Wibowo, Titik Nol, h. 45
Aku dibawa oleh buku Titik Nol ke Gunung Dewa. Orang Cina menyebutnya Shenshan. Orang Buddha Tibet menyebutnya Kang Rinpoche (Mustika Agung dari Tanah Salju), tempat bertakhtanya Buddha Sakyamuni. Bagi umat Hindu, di sinilah singgasana Sang Dewa Syiwa bersama istrinya, Parwati, putri dewa Pegunungan Himalaya. Nama lain yang umum adalah Kailash.
Agustinus Wibowo mengisahkan kunjungannya ke Gunung Suci Kailash begitu menyentuh. Dia berhasil membawa suasana Gunung Suci itu dalam jarak yang sangat dekat kepada para pembacanya—khususnya kepadaku. Rasa-rasanya, aku sudah pernah tiba di sana dan merasakan suasananya. Apalagi Titik Nol menyertakan beberapa gambar yang indah dan bermakna. Aku yakin gambar berupa foto itu dipilih secara saksama dan cermat serta disusun untuk keperluan memperkuat detail kisah.
Coba dengarkan dongengannya yang menarik ini: “Nirwana ini dingin. Nirwana ini tinggi di awang-awang. Nirwana ini sunyi, tersembunyi, mematikan. Di Atap Dunia, langit biru menangkup, lembah-lembah hijau menghias di tengah kepungan gunung-gunung yang berwujud barisan kurva bulat ditudungi salju. Sungai jernih bergemericik membelah padang” (halaman 45).
Menurut Agustinus—yang bercerita dengan detail-detail yang sungguh mempesona—Gunung suci Kailash bagaikan sebuah piramida raksasa. Bentuknya nyaris kerucut sempurna. Menyembul dari balutan selimut awan. Ia menjulang di tengah barisan bukit gersang. Gunung itu serasa jadi primadona karena rupanya yang istimewa. Kesan magis dimiliki gunung itu gara-gara puncaknya ditudungi salju tebal laksana mahkota.
Bagaimana Agustinus dapat berkisah seperti itu? Aku membaca pengakuannya bahwa dia punya buku kumal yang senantiasa dibawa di setiap perjalanannya—untuk mencatat (bahasaku: “mengikat”) hal-hal penting dan berharga. Aku yakin pula bahwa dia juga gemar membaca. Kegemaran membacanya telah memperkaya dirinya dengan banyak kata—ini sangat perlu agar diksinya menjadi lebih bertenaga. Perjalanannya juga tak sekadar perjalanan fisik. Aku merasakan sekali bahwa perjalanannya merupakan perjalanan batin.[]