Powered By Blogger
Tampilkan postingan dengan label Menulis. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Menulis. Tampilkan semua postingan

Kamis, 18 Juli 2013

Menemukan Diri lewat Menulis?


Oleh Hernowo



“Apa yang paling penting dan paling berharga yang Pak Hernowo temukan ketika menulis?” tanya seorang sahabat Facebook saya suatu ketika. Dia bertanya seperti itu setelah membaca tulisan saya yang berjudul “Menulis untuk Menemukan”. Secara cepat, dan tanpa berpikir terlalu lama, saya pun kemudian mengambil dan menayangkan dua kutipan berikut ini. Dua kutipan berikut merupakan kutipan favorit saya apabila saya diminta seseorang untuk memaknai kegiatan membaca dan menulis. Entah kenapa, dua kutipan berikut ini sangat saya senangi. Mungkin keduanya mampu menyalakan “api” semangat membaca dan menulis saya hingga berkobar-kobar tak terkira setiap kali saya usai membacanya. Dan setiap kali saya mengutip keduanya, hati saya pun berbunga-bunga:




Kita membaca buku untuk mencari tahu tentang diri kita sendiri. Apa yang dilakukan, dipikirkan, dan dirasakan oleh orang-orang lain—entah mereka nyata atau imajiner—merupakan petunjuk yang sangat penting terhadap pemahaman kita mengenai siapa sebenarnya diri kita ini dan bisa menjadi seperti apakah kita.” URSULA K. LE GUIN

”Menulis sesungguhnya adalah ekspresi hati dan curahan jiwa kita yang terdalam. Karena itu, keaslian sesungguhnya merupakan kata kunci di sini. Bagi seorang penulis sejati, perasaan otentik sangat penting dan keotentikan itulah sesungguhnya yang hendak dikomunikasikan seorang penulis kepada setiap pembaca tulisannya. Menulis sesungguhnya adalah sebuah proses untuk menjadi diri kita yang sebenarnya. Bahkan menulis sesungguhnya adalah sebuah proses untuk menjadi diri kita yang seutuhnya, sebuah proses pergulatan untuk menemukan diri kita yang sejati.” ARVAN PRADIANSYAH

Kutipan pertama tentang membaca berasal dari seorang penulis novel dan kutipan kedua tentang menulis berasal dari penulis yang juga seorang motivator. Saya sangat menyukai dua kutipan tersebut karena cocok dengan diri saya ketika sedang melakukan kegiatan membaca dan menulis. Membaca, bagi saya, adalah melakukan perjalanan yang jauh dan menantang. Buku yang saya baca, kadang, saya anggap bagaikan kapal yang siap mengantarkan saya ke wilayah-wilayah yang tidak terduga. Saya kadang menemukan diri saya yang sedang berada tersembunyi di tumpukan kata-kata yang diciptakan dan disusun oleh seorang penulis. Ada kalanya juga saya menolak diri saya sendiri yang saya temukan di halaman sebuah buku.

Kutipan dari Arvan saya temukan belakangan. Kalau kutipan dari Ursula saya abadikan di buku yang sangat saya sukai, Andaikan Buku Itu Sepotong Pizza (2003), kutipan Arvan kadang saya perkenalkan di kerlas-kelas pelatihan menulis yang saya ampu. Terus terang saja, tidak mudah untuk menjelaskan makna dua kutipan tersebut. Saya tidak tahu, kenapa membaca dan menulis yang cara melakukannya berbeda tersebut dapat mengantar seseorang yang melakukannya untuk menemukan diri. Saya mampu mengalaminya tetapi, sesungguhnya, saya tidak mampu menjelaskannya. Diri seperti apa sesungguhnya yang saya temukan ketika saya membaca dan menulis?

Yang jelas, membaca sesungguhnya adalah belajar memahami pengalaman orang lain—baik yang kita baca (pelajari) itu berasal dari buku fiksi maupun nonfiksi. Lewat membaca, pengalaman seorang penulis—dalam bahasa Ursula disebut ”pengalaman nyata atau imajiner”—kita serap dan masukkan ke dalam diri kita. Pengalaman seorang penulis kemudian bercampur dengan pengalaman diri kita. Proses percampuran pengalaman baru (dari seorang penulis) dan pengalaman lama (yang sudah ada di dalam diri kita) itu menjadikan diri kita lebih jelas sosoknya. Diam-diam, mungkin tanpa saya sadari, diri saya terbentuk lebih jelas ketika saya sedang membaca dan menuliskan hasil membaca saya. Ketika saya membaca huruf, kata, kalimat, dan sebagainya dalam buku tersebut, seluruh komponen bahasa itu kemudian membantu saya membangun diri saya. Saya pun, pada akhirnya, mengenali diri saya setahap demi setahap.

Ketika menulis, saya sesungguhnya sedang mengeluarkan diri saya dengan bantuan kata-kata yang saya miliki yang telah saya serap dan kumpulkan sebelumnya lewat membaca. Kekayaan kata yang saya miliki (akibat membaca) sangat membantu saya mengeluarkan dan merumuskan diri-sejati saya serta—ini yang paling penting—mengonstruksi atau membangun diri-baru saya yang terus berproses. Setiap kali selesai menulis, saya menemukan diri-baru saya. Apakah diri saya kemudian terus berubah-ubah? Bisa ya dan tidak. Ya karena memang setiap hari, bahkan detik, saya pasti memasukkan pengalaman baru ke dalam diri saya. Tidak karena ada diri-sejati saya yang sudah dicetak oleh Tuhan sejak awal mula saya diciptakan. Saya akan semakin dapat memahami diri-sejati saya yang dibentuk oleh Tuhan apabila saya terus mau membaca dan menuliskan diri saya. ”Man ’arafa nafsahu faqad ’arafa rabbahu” (Siapa yang berhasil mengenali dirinya, niscaya akan mengenali Tuhannya). Alhamdulillah.[]  


Minggu, 14 Juli 2013

“Tragedi Nol Buku” Akankah Berlanjut?: Antara Mengajarkan dan Mencontohkan


Oleh Hernowo






Saya baru saja selesai membaca tulisan Taufiq Ismail di majalah Horison(majalah sastra) edisi Juni 2013. Tulisan Taufiq Ismail itu berjudul  “Mendidik Anak Bangsa Cinta Membaca Buku dan Piawai Mengarang”. Tulisan tersebut saya baca selama perjalanan Yogya-Bandung di kereta malam Lodaya. Sebelumnya, sejak siang hari saya mencari bacaan yang dapat saya baca selama perjalanan. Majalah Horison yang mengangkat tema “Sastra dan Kurikulum  2013” akhirnya saya pilih untuk menemani saya. Tema edisi Juni 2013 itu menarik perhatian saya. Meskipun masa edarnya sudah habis, saya tetap membelinya karena ingin tahu apa yang ditulis Taufiq Ismail.

Sungguh, perjalanan Yogya-Bandung menjadi tidak melelahkan karena tulisan “Mendidik Anak Bangsa Cinta Membaca Buku dan Piawai Mengarang” karya Taufiq Ismail. Pikiran saya terus bergerak ke mana-mana ketika membaca pikiran dan pendapat Taufiq Ismail. “Sekitar bulan Januari-Februari 2013 yang lalu saya dikirimi Kemdikbud dua buku ajar berjudul Buku Siswa Bahasa Indonesia untuk SMP/MTs kelas VII dan Buku Siswa Bahasa Indonesia untuk SMA/SMK kelas X yang akan dipergunakan dalam kurikulum baru tahun 2013 ini,” demikian Taufiq Ismail mengawali tulisannya. “Saya diminta memberi masukan,” lanjutnya.

Berpijak dari dua buku ajar tersebutlah Taufiq Ismail seperti menuliskan (mengungkapkan) “kegeraman”-nya. Saya dapat merasakan kegeramannya itu. Tak segan-segan kegeraman itu ditunjukkan lewat kalimat-kalimat yang menggunakan huruf-huruf kapital. Bahkan ada yang diberi bingkai pula. Saya tak ingin menunjukkankannya di sini. Kegeraman itu dapat saya pahami karena saya telah membaca (dan bahkan belum lama ini saya memuatnya di catatan dii Facebook saya) “Tragedi Nol Buku” yang ditulis Taufiq Ismail pada 30 Mei 2005 (lihat https://www.facebook.com/notes/hernowo-hasim/tragedi-nol-buku-tragedi-kita-bersama-oleh-taufiq-ismail/10151589869954333). Sudah delapan tahun usia “Tragedi Nol Buku” karya Taufiq Ismail.

Delapan tahun? Ya dan pengajaran Bahasa Indonesia, menurut yang saya pahami dari “Mendidik Anak Bangsa Cinta Membaca Buku dan Piawai Mengarang”, tidak berubah sama sekali. Bahkan, menurut Taufiq Ismail, pengajaran Bahasa Indonesia di SMA pada saat ini masih tertinggal sekitar 63 tahun jika diukur dari model pengajaran bahasa dan sastra di AMS Hindia Belanda. “Para linguis yang mendominasi penyusunan kurikulum dan buku teks ini menghalangi (kata ini dicetak tebal—HH) anak bangsa menikmati pusaka sastra yang ditulis sastrawan Indonesia, merintangi (dicetak tebal lagi) mereka mereguk karya sastra yang akan menjadikan mereka cendekia, mencegah (lagi-lagi dicetak tebal) mereka memperoleh pencerahan batin dalam pertumbuhan kepribadian menjelang usia dewasa,” tulis Taufiq Ismail dalam bingkai kotak dan dalam huruf kapital (halaman 6).

Tentu tak hanya apa yang saya sampaikan saat ini yang diungkapkan oleh Taufiq Ismail. Ada banyak hal yang perlu kita renungkan bersama dalam “Mendidik Anak Bangsa Cinta Membaca Buku dan Piawai Mengarang”. Kali ini, saya akan fokus pada “dominasi linguis” dalam penyusunan kurikulum dan buku teks sebagaimana diungkapkan oleh Taufiq Ismail. Boleh jadi, linguis—dalam istilah Taufiq Ismail—adalah teoretisi bahasa. Bisa jadi juga saya salah. Namun, yang jelas, Taufiq Ismail bukanlah linguis atau teoretisi bahasa. Taufiq Ismail berada di kutub yang lain. Mungkin Taufiq Ismail dapat disebut sebagai “praktisi” bahasa. Dia sastrawan dan piawai menulis puisi. Menurut yang saya dengar, pendidikan tingginya bukan dari jurusan bahasa.



Linguis atau teoretisi bahasa versus praktisi bahasa ini kemudian memunculkan cara berbeda dalam menyampaikan mata pelajaran Bahasa Indonesia. Para praktisi bahasa, khususnya Taufiq Ismail, ingin agar para siswa di jenjang SMA lebih didorong untuk berpraktik membaca dan menulis. Dalam “Mendidik Anak Bangsa Cinta Membaca Buku dan Piawai Mengarang”, Taufiq Ismail memutar kembali rekaman pengalamannya ketika bertemu dan bertanya kepada Elvira Karimova, pada 1996, ketika menghadiri seminar tentang sastra Indonesia-Malaysia di Moskow. Elvira, yang merupakan peserta seminar  tersebut, ditanya ihwal pengajaran Bahasa Rusia di negerinya. Elvira menjawab, “Lho, tatabahasa itu tidak diajarkan lagi di SMA, tuan Taufiq. Cukup di SD. Sedikit di SMP. Buat apa diajarkan lagi di SMA, tuan.”

“Saya sangat terkejut,” tulis Taufiq Ismail, “…Tatabahasa luar biasa menjajah pengajaran bahasa di negeri saya. Nah, jadi apa yang diajarkan di SMA Anda?” Menurut Elvira, tugas siswa SMA di Rusia ada dua: membaca buku, membaca buku, membaca buku. Lantas, menulis karangan, menulis karangan, menulis karangan. “Tapi tatabahasa kalian ruwet begitu. Masa’ di SMA tidak perlu dilatih lagi?” tanya Taufiq Ismail lagi. “Tatabahasa diperiksa dalam tulisan, tuan. Tugas mengarang ‘kan banyak. Murid bakal ketahuan kalau tatabahasanya lemah. Dia dibantu guru lewat koreksi karangannya. Toh dulu dia di SD dan SMP sudah 9 tahun diajar tatabahasa,” jawab Elvira.



Setelah itu, Taufiq Ismail pun mendaftar judul-judul buku yang dibaca siswa SMA Uva, Bashkira, tempat Elvira bersekolah dulu pada tahun 1980-an. Ada dua belas buku. Saya hanya akan menunjukkan dua buku yang disebut paling awal dan akhir. Pertama War and Peace karya Leo Tolstoy dan yang kedua belas The Prose of Paustovsky and Simonov. Taufiq Ismail lantas menulis bahwa seluruh nama yang dilaporkan Elvira ini dikenal sebagai raksasa sastra dunia. Siswa-siswa Rusia mengenal karya-karya luhur pusaka sastrawan negeri mereka itu sejak umur SMA, dan mereka sangat menikmatinya dan menerima pencerahan kecendekiaan sebagai generasi muda sebuah bangsa besar. HAL INI TIDAK TERJADI DI INDONESIA. Kurikulum Bahasa Indonesia telah memblokir karya-karya Hamzah Fansuri hingga Rendra dan Wisran Hadi (Taufiq Ismail menyebut 27 nama para sastrawan Indonesia yang sudah almarhum dan almarhumah).

Apa yang dapat saya petik dari semua itu? Mengajarkan tatabahasa memang (maaf), tampaknya, lebih mudah ketimbang mendorong siswa-siswa SMA kita untuk mau membaca dan menulis. Di dalam kegiatan menjadikan siswa-siswa SMA kita punya keinginan membaca dan menulis perlu ada contoh—tepatnya keteladanan. Di samping perlu menjadi contoh dalam membaca dan menulis, para guru Bahasa Indonesia pun harus menyediakan waktu untuk mengoreksi dan membimbing kegiatan baca-tulis para siswanya. Inilah yang mungkin menghalangi para linguis—merujuk ke Taufiq Ismail—untuk menyusun kurikulum Bahasa Indonesia yang benar-benar pro membaca dan menulis.[]



Sarinah dan Keadilan Jender: Menunggu Bung Karno? Bag-3


Oleh Hernowo


“Ah, Sarinah! Pulang berkuli di pabrik atau kebun, pulang dari berdagang di pekan yang kadang-kadang berpuluh kilometer jauhnya itu, masih menunggu lagi kepada mereka di rumah pekerjaan buat sang suami dan sang anak … Sang suami sehabis kerja merebahkan dirinya di balai-balai, …tetapi Sarinah—habis kerja di luar rumah masih ada kerja lagi baginya di dapur atau di dekat sumur.”
—Soekarno dalam Sarinah


Akhirnya, inilah alasan kelima, kenapa aku menunggu kehadiran Bung Karno. Alasan kelima ini berasal dari tulisan Karlina Supelli, “Belajar Menjadi Warga Negara: Belajar Membaca Kembali Sarinah” (dimuat di Prismaedisi khusus hal. 198-214). Siapa Sarinah? Di sinilah letak kontroversi sekaligus kehebatan Soekarno. Sarinahadalah buku karya Soekarno yang membahas hal ihwal perempuan—tepatnya tentang perjuangan (peran) kaum perempuan dalam mendirikan dan merawat bangsa. Sarinah dibuat Soekarno sebelum Presiden Pertama RI tersebut memiliki banyak istri. Mari kita fokus pada Sarinah sebagaimana dikupas oleh Karlina dengan sangat kaya dan luas.

Menurut Karlina, kita tidak perlu meragukan kualitas kesadaran Soekarno akan hak-hak perempuan, terutama pada periode pergerakan kebangsaan sampai permulaan tahun 1950-an. Sampai hari ini, belum ada lagi presiden Indonesia yang secara pribadi sedemikian bersungguh-sungguh dan mendalam mengkaji peran perempuan dalam upaya membangun bangsa, lalu menuliskannya dan menyebarluaskannya. Sesudah Soekarno, gagasan mengenai perempuan Indonesia terkungkung kembali dalam peran reproduktifnya sebagai ibu dan istri yang bertugas merawat dan menjaga keharmonisan keluarga (hal. 213).

Mengapa Soekarno menulis buku Sarinah? Aku tak menemukan jawaban langsung dan eksplisit dari Karlina. Aku hanya menemukan bahwa dengan membaca Sarinah, kita yang hidup pada masa kini akan tahu pentingnya gerakan sosialis perempuan di tengah-tengah gelombang deras kapitalisme kontemporer yang membuat remuk hidup sehari-hari perempuan kebanyakan. Kita membaca Sarinah untuk memikirkan kembali para perempuan yang kebingungan menitipkan anak, yang “jiwanya terbelah” (kata Soekarno) karena faktor usaha tempat mereka bekerja hanya mengukur tenaga produktifnya tetapi tidak peduli dengan beban tugas reproduktif mereka. Kita membaca Sarinah untuk menemukan bahwa perempuan, lewat problematik jendernya yang khas, memberi realitas kepada bangsa ini, dan dari situ memikirkan kebaikan hidup bersama.




Sungguh, aku ingin membaca Sarinah (buku ini diterbitkan ulang pada Januari 2013) karena ingin mengetahui kepedulian Soekarno terhadap kaum perempuan. Seorang pemimpin negara mau peduli terhadap kaum perempuan? Ya. “Sarinah tidak hanya memperlihatkan kesadaran jender yang tinggi, tetapi juga berisi visi Soekarno tentang peran perempuan dalam mendirikan dan merawat bangsa. Visi ini tidak berubah sejak tahun 1928,” tulis Karlina. Apakah Sarinah-Sarinah pada masa kini masih sempat merasakan visi Soekarno yang dahsyat itu?[]

Bahasa (Menggerakkan) Soekarno: Menunggu Bung Karno? Bag-2


Oleh Hernowo


Ada tiga alasan (sebagaimana telah kusebutkan sebelum ini) kenapa aku, saat ini, menunggu kehadiran Bung Karno. Tentu, yang kutunggu bukan kehadiran fisiknya. Aku menunggu semangat (spirit) dan gagasan-gagasan briliannya. Menemukan Pancasila bukan hal yang mudah. Seperti kata Daniel Dhakidae, rumusan Pancasila begitu puitik. Aku bisa merasakannya. Indonesia yang sangat majemuk memerlukan Pancasila. Hanya, bagaimana mewujudukan nilai-nilai Pancasila di dalam kehidupan bernegara hingga kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia memang tidak mudah. Oleh karena itulah, aku ingin terus menunggu Bung Karno.

Di samping tiga alasan (yang telah kusebutkan), ada alasan keempat yang akan kutunjukkan saat ini. Alasan keempat ini muncul setelah aku membaca ulasan menarik Seno Gumira Ajidarma yag dimuat oleh Prismaedisi khusus 2013 terkait dengan bahasa (menggerakkan) Soekarno. Judul ulasan Seno memang hanya “Bahasa Soekarno: Indonesia dalam Retorika Dalang” (dimuat di halaman 174 hingga 197). Aku sengaja menambahkan kata “menggerakkan” karena, sebagaimana Ali Syariati, Soekarno begitu piawai dalam menggunakan bahasa Indonesia untuk mengobarkan “api” (revolusi) di dalam diri siapa saja yang sempat mendengarkan atau membaca kata-katanya.

Yang mengagumkan, Soekarno sangat setia kepada bahasa Indonesia. Dia piawai menggunakan bahasa asing. Namun, Soekarno teguh dalam memanfaatkan bahasa Indonesia untuk berkomunikasi dengan bangsanya. Bahasa yang menggerakkan itu dia ciptakan baik secara lisan maupun tulisan. Memang, dalam pidato-pidatonyalah bahasa tersebut sangat dapat dirasakan. Mungkin karena alam ketika Soekarno hidup (dan harus berjuang melawan penjajah) memaksa dia untuk menciptakan bahasa kreatif yang menggerakkan itu. Di antara keenam presiden RI, tampaknya hanya Soekarno-lah yang memiliki kemampuan berpidato secara sangat unik dan menarik.

Aku menyebut bahasa Soekarno sebagai bahasa yang kreatif karena dia kerap mencampur pelbagai bahasa dalam wacananya. Bahasa Soekarno bisa juga disebut sebagai bahasa gado-gado atau bahasa campur aduk “Dibaca secara kronologis,” tulis Seno di halaman 182, “maka Soekarno tampak semakin piawai menjalin ungkapan berbahasa itu, seperti terbaca dari kutipan terakhir, yang bukan sekadar menyusun kalimat, melainkan telah berusaha meleburkannya ketika menyebutkan kata Belanda dalam struktur bahasa Jawa dengan akhiran ‘i’. Jika diingat, betapa Soekarno menulis dengan musikalitas orang berpidato, yakni mengandalkan daya kelisanan, maka sebetulnya penyebutan seperti ‘non-i’, ‘machtsvormingi’, dan ‘massa-aksii’ adalah model yang biasa dilakukan para pengguna bahasa Jawa dalam percakapan lisan.

“Namun ketika model yang sama hadir sebagai bahasa tulisan, meski memang berkarakter propaganda lisan, dari segi kreativitas penulisan berbahasa Indonesia tentu merupakan lompatan.” Aku ingin menggarisbawahi apa yang disampaikan Seno ini—“dari segi kreativitas penulisan berbahasa Indonesia tentu merupakan lompatan”. Soekarno telah memanfaatkan, secara sangat baik, bahasa sebagai alat untuk berkomunikasi. Tak berhenti di situ, dia juga menciptakan pelbagai bentuk komunikasi tersebut dalam format yang sangat tidak biasa. Ini menjadikan Soekarno sebagai orator ulung yang tak tertandingi pada zamannya dan, mungkin juga, setelah zamannya. Kita seperti tak memiliki lagi orang yang berkemampuan berbahasa sebagaimana Soekarno.





Satu hal lagi yang perlu aku perhatikan adalah kutipan Seno terkait dengan komentar Virginia Matheson Hooker (dimuat di buku Yudi Latif dan Idy Subandi Ibrahim (eds.), Bahasa dan Kekuasaan: Politik Wacana di Panggung Orde Baru, Bandung, Mizan, 1996, hal. 71-72) atas pidato Soekarno) dalam “Bahasa dan Pergeseran Kekuasaan di Indonesia: Sorotan terhadap Pembakuan Bahasa Orde Baru”: “…pidato Soekarno disebut akrab dengan pendengarnya, melibatkan emosi, tanpa kendali, dan secara terbuka memberi kesempatan tawar menawar”. Menurut Seno, tanpa mengacu kepada tujuan politik-ekonomi saat diucapkan, slogan-slogan Soekarno seperti “jembatan emas”, “holopiskuntulbaris”, “gotong royong”, “berdikari”, dan “vivere pericoloso” terbukti menjadi ungkapan populer.[]

Menunggu Bung Karno? Bag-1


Oleh Hernowo


Mengapa menunggu Bung Karno?

Pertama, Orde Baru pernah berusaha menghapus kenangan satu bangsa terhadap Soekarno (1967-1977).Kedua, sistem kepartaian saat ini menjadi sistem organisasi yang semata-mata mengejar kepentingan diri sendiri, serta DPR tak lagi mewakili rakyatnya namun tetap bising dalam riuh-rendah politik kepentingan dan mengumbar nafsu korupsi. Ketiga, Pancasila (yang digali dan ditemukan Soekarno) hanya berada di angan-angan sementara masyarakat yang berbineka tunggal ika ini seperti gampang tercabik-cabik ketika perbedaan pendapat hadir di dalamnya serta ketika toleransi hanya menjadi basa-basi.”

Itulah tiga alasan kenapa Bung Karno perlu kupahami (kuhidupkan)- kembali (di dalam diriku) pada saat ini. Tiga alasan (khususnya alasan pertama dan kedua) kuperoleh dari edisi khusus Prisma Volume 32, No. 2 dan No. 3, 2013, yang berjudul Soekarno: Membongkar Sisi-sisi Hidup Putra Sang Fajar. Edisi Prisma kali ini terasa sangat istimewa karena memberikan wawasan kepadaku tentang Soekarno yang komplet sebagai intelektual, nasionalis, liberator, dan proklamator. Aku tak memungkiri bahwa Soekarno juga memiliki beberapa kekurangan dan sempat menjadi sosok yang penuh kontroversi. Namun, kali ini aku ingin menyingkirkan sisi kontroversialnya dan mencoba menyerap peran dan jasanya dalam membangun negara Indonesia.

Aku lahir ketika Soekarno sudah berusia seumurku saat tulisan ini kubuat. Soekarno wafat pada usia 69 tahun, ketika usiaku waktu itu baru 13 tahun. Kenanganku akan Soekarno sangat sedikit—atau mungkin, bahkan, tak ada lagi. Setahuku, pada tahun 1977, Prisma pernah mengupas sosok Soekarno namun bersama tokoh lain seperti H. Agus Salim, Tan Malaka, dan Sutan Sjahrir. Edisi Prisma tersebut kemudian dibukukan dengan judul Manusia dalam Kemelut Sejarah. Aku punya buku itu. Tapi, aku lupa apakah sempat membaca tentang Soekarno atau tidak. Sebab, hingga edisi khusus Prisma 2013 tentang Soekarno terbit, aku sama sekali tidak ingat akan peran-penting Soekarno dalam membangun Indonesia.





Daniel Dhakidae, Pemipim Umum/Pemimpin Redaksi Prisma mengatakan bahwa perlu konsentrasi penuh selama lima hingga enam bulan untuk mempersiapkan edisi khusus tersebut (lihat St Sularto, “Jurnal Prisma: Soekarno, Ende, Pancasila”, dalam Kompas edisi Jumat, 28 Juni 2013). Yang menarik, Daniel juga sempat menulis di Kompas pada Jumat, 31 Mei 2013, tentang edisi khusus Prisma yang sedang dipersiapkannya. Dia mengaitkan Soekarno dengan kelahiran Pancasila. Pada 1 Juni 2013, situs Bung Karno di Ende akan diresmikan secara besar-besaran. Di kawasan itu akan ada patung baru Bung Karno yang sedang merenung di bawah Pohon Sukun.

Aku tertarik memahami kembali Bung Karno—khususnya lewat edisi khususPrisma 2013—karena Daniel menulis lima hal tentang Bung Karno yang baru kutahu saat ini. Seperti kita ketahui bahwa Bung Karno dibuang ke Ende, Flores, pada Februari 1934, ketika usianya baru 33 tahun. Dan kelima hal yang menarikku itu adalah, pertama, Soekarno menjadi seorang bapak keluarga tanpa gangguan kegiatan politik seperti di Bandung. Soekarno menanam sayur mayur, memetiknya untuk dimasak di rumah kontrakannya demi lima anggota keluarganya. Sebagai bapak keluarga, Soekarno juga menjadi seorang Muslim yang taat—shalat lima kali sehari dan setiap Jumat ke masjid.

Kedua, Soekarno berhasil menghidupkan kegiatan intelektualnya dan menjadikan dirinya seorang ahli Islam. Di Jawa, keasyik-masyukannya dengan Marxisme menenggelamkan perhatiannya terhadap Islam. Meskipun demikian, ketika usianya 25 tahun, Soekarno sempat menulis sebuah tulisan berjudul “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme” (1926) yang merupakan manifesto politik Soekarno muda yang brilian. Di Jawa, Soekarno melihat Islam dari luar. Di Ende, Soekarno banyak menulis dan melihat Islam dari dalam.

Ketiga, Soekarno dijauhi golongan atas di Ende dan ditakuti golongan bawah karena propaganda kolonial: dia dianggap komunis. Dia pun lantas membentuk masyarakatnya sendiri dan mempersetankan “orang pintar yang tolol”. Dia mendirikan “Kelimoetoe Toneel Club” dengan dukungan tukang jahit, sopir, nelayan; beranggaran dasar dan Soekarno sendiri direkturnya. Dia menulis dan mementaskan 13 drama dalam tempo empat tahun!

Keempat, perlahan Soekarno mengalihkan diri menjadi cendekiawan sejati dengan keluar melangkah ke suatu kelompok berbeda (dengan para pastor/misionaris). Diskusi dalam bahasa Belanda secara rutin dijalankan dengan mereka di Ende, yang rata-rata seumur dengan Soekarno, 35-40 tahun. Dalam diskusi dipelajari agama mondial dengan dukungan buku di perpustakaan pribadi para pastor itu.

Kelima, berbekal hasil diskusi itulah, renungan di bawah pohon sukun yang begitu membuai Soekarno menjadi puncak dari semua yang diperoleh di Ende, yaitu menggali dan merenung tentang Pancasila yang dilukiskan oleh Soekarno dengan begitu puitik.[]



Menulis untuk Menemukan






Oleh Hernowo


“Pak Hernowo, untuk apa Pak Hernowo menulis?” pertanyaan tak terduga ini tiba-tiba muncul di sebuah pelatihan menulis sekitar seminggu lalu. Seingat saya, waktu itu, saya tak bisa menjawab langsung. Bahkan, saya agak gelapagan menjawabnya. Pertanyaan ini menarik untuk saya renungkan kembali dan jawab sekali lagi di hari ini. Hari ini, usia saya tepat 56 tahun. Saya merasa mampu menulis dengan baik dan akhirnya percaya diri dalam menghasilkan karya tulis ketika usia saya 44 tahun (2001). Waktu itu, saya menerbitkan buku pertama berjudul Mengikat Makna dan akhirnya buku tersebut, seakan-akan, memberikan “merk” kepada diri saya yang mampu menulis.

Kini sudah 12 tahun usia “merk” itu. Buku saya pun sudah bertambah banyak. Apa sesungguhnya makna menulis bagi saya? Mengapa saya harus menulis? Apa manfaat yang saya peroleh ketika saya menulis? Apa pula yang mendorong saya untuk menulis? Apakah jawaban saya saat ini akan sama dengan jawaban atau keadaan saya sekitar 12 tahun lalu ketika berusaha membangkitkan kepercayaan diri saya dalam menulis? Apakah dengan kehadiran teknologi-geser dalam menjalankan gadget membuat paradigma menulis saya pun berubah drastis? Ya, apa kira-kira makna menulis bagi saya pada saat ini?

Setelah saya renungkan cukup mendalam, jawaban saya atas pertanyaan-pertanyaan itu ternyata ada di sesi ketiga pelatihan menulis yang saya lakukan seminggu lalu. Setiap kali saya memberikan pelatihan menulis, saya tentu mengajak para peserta untuk melewati tiga sesi praktik (mengalami) menulis. Teori, konsep, atau teknik-teknik menulis jelas sangat penting. Namun, mengalami menulis jauh lebih penting daripada semua itu. Sesi satu adalah “membuang” pikiran, sesi dua “mengolah pikiran”, dan sesi tiga “menemukan gagasan”. Sesungguhnya, proses ketiga sesi itu biasa-biasa saja dan tidak ada yang berbeda dengan pelatihan-pelatihan saya sebelumnya. Hanya, pertanyaan seorang peserta itu, rupanya, mengubah secara radikal pemahaman saya atas sesi tiga saat itu.

Saya menjadikan sesi tiga yang bernama “menemukan gagasan” sebagai kegiatan menulis untuk menemukan. Menemukan apa? Menemukan sesuatu yang penting dan berharga! Ya, saya senantiasa berhasil membangkitkan motivasi menulis di dalam diri saya karena saya sejak dahulu senantiasa mempersepsi menulis sebagai kegiatan untuk menemukan sesuatu yang penting dan berharga. Memang, tak selamanya upaya saya untuk “menemukan” itu berhasil. Kadang, begitu saya selesai menulis, saya tidak menemukan apa-apa meskipun saya sudah menulis ratusan kata. Jika saya mengalami hal ini, itulah kegiatan menulis yang saya sebut sebagai “menulis dalam kehampaan”.

Saya sungguh berharap bahwa ke depan saya masih terus dapat mempertahankan kegiatan menulis untuk menemukan. Sebab, saya tak pernah melepaskan menulis dari membaca. Bahkan, kadang, saya mampu menulis karena sebelumnya saya mengawalinya dengan membaca. Membaca bukan pekerjaan mudah. Nah, dengan dibantu oleh kegiatan menulis untuk menemukan itulah, membaca menjadi lebih menantang dan mengasyikkan serta jauh lebih ringan saya lakukan. Setiap kali membaca, saya pun memaksa diri saya untuk melanjutkan kegiatan membaca dengan menulis. Saya harus bertanya kepada diri saya yang sedang membaca, “Apa yang kuperoleh dari bacaanku ini?”

Berpijak pada pertanyaan tersebutlah saya kemudian menulis untuk menemukan sesuatu yang penting dan berharga.[]



Selasa, 04 Juni 2013

Membaca Buku yang Setara Bertafakur?


Oleh Hernowo


The Thinker

[Ini tulisan lama saya. Waktu itu saya tulis setelah saya diwawancara Radio PR-FM di Bandung tentang buku baru saya, Mengikat Makna Update. Saya tampilkan lagi karena ada sebuah lembaga di Bandung yang mengajak saya untuk menggalakkan minat membaca. Saya bertanya dalam hati: “Apa menariknya kegiatan membaca di era serbadigital seperti saat ini ya?”]



Membaca adalah sebuah suaka yang paling pribadi dan subjektif. Sebuah ruang-hening yang personal. Melewati bahasa, seorang pembaca secara aktif menerjemahkan teks untuk dirinya—sebuah penggalian makna dan penjelajahan ke kedalaman. SVEN BIRKETS

“Membaca dan menulis bukanlah soal metode atau teknik, melainkan soal hidup dan keberanian,” demikian tulis Romo Sindhunata dalam mengantarkan buku saya, Main-Main dengan Teks (2004). Dan inilah yang saya bincangkan kemarin, Kamis 29 Oktober 2009, di Radio PR-FM ketika saya diminta membahas buku terbaru saya yang akan beredar di toko-toko buku di awal November ini, Mengikat Makna Update.

Merujuk ke pernyataan Sven Birkets, ketika saya membahas kegiatan membaca, saya ingin seseorang tidak hanya berhubungan dengan lautan huruf mati. Jika kegiatan membacanya hanya berkutat dengan huruf, kata, dan kalimat, kita akan cepat merasa jenuh dan bosan. Sebagaimana kata Birkets, kita harus berusaha untuk menjalankan kegiatan membaca agar diri kita dapat melakukan “penggalian makna dan penjelajahan ke kedalaman.”

Membaca sebagaimana dikatakan oleh Birkets adalah membaca yang dalam (deep reading). Saya ingin menegaskan di sini bahwa deep reading bukan kegiatan yang ringan dan mudah. Namun, seseorang yang berhasil menjalankan deep reading akan dapat meraih pelbagai manfaat luar biasa dari membaca. Salah satunya, misalnya, adalah—menurut riset para ahli otak—orang tersebut akan terhindar dari kepikunan di hari tua. Deep readingmampu menggerakkan seluruh komponen otak seorang manusia. Bahkan, yang menakjubkan, deep reading akan membantu seseorang dalam menumbuhkan neuron-neuron (sel saraf otak) baru!

Terlepas dari semua itu, saya juga menyadari bahwa—merujuk ke Nicholas Carr yang menulis dengan bagus sebuah renungan tentang efek-buruk internet (lihat bukunya, The Shallows: What the Internet is Doing to Our Brains, W.W. Norton & Company Inc., New York, 2010) jika dikaitkan dengan deep reading—membaca model Birkets itu banyak dihindari oleh orang-orang zaman sekarang. Kebanyakan orang, pada saat ini, menjalankan kegiatan membaca dengan lompat sana dan lompat sini, atau tanpa perenungan yang sangat mendalam. Tentu bukan hanya internet penyebabnya. 

Nah, saya bersyukur karena dapat menemukan konsep “mengikat makna” yang membuat saya dapat membaca dan tetap menjalankan kegiatan perenungan yang sangat mendalam. Setelah membaca, saya pasti menuliskan apa yang saya baca. Menjalankan kegiatan menulis, setelah membaca, sangat menolong saya sehingga saya tetap dapat menjalankan kegiatan berefleksi atau bertafakur ketika saya sedang membaca. Salam.[]

10 Prinsip dan Manfaat Mengikat Makna




Oleh Hernowo



[Pada 23 dan 24 Juni 2011, saya diundang oleh Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Syaikh Abdurrahman Siddik Bangka Belitung untuk menyampaikan prinsip-prinsip “Mengikat Makna”. Saya kemudian melatihkan sekaligus meminta para peserta pelatihan membaca-menulis yang dipadukan itu untuk sekaligus merasakan manfaatnya.]


1
Mengikat makna adalah konsep membaca dan menulis yang disatupadukan yang telah membantu saya dalam mengenali diri saya dan, khususnya, memudahkan saya dalam rangka mencuatkan pelbagai potensi diri yang saya miliki. “Kita membaca buku untuk mencari tahu tentang diri kita sendiri. Apa yang dilakukan, dipikirkan, dan dirasakan oleh orang-orang lain—entah mereka nyata atau imajiner—merupakan petunjuk yang sangat penting terhadap pemahaman kita mengenai siapa sebenarnya diri kita ini dan bisa menjadi seperti apakah kita,” ujar Ursula K. Leguin. Sementara itu, menulis adalah menyusun (mengonstruksi) dan merumuskan diri saya ketika saya mengeluarkan sesuatu yang telah saya pahami dengan baik yang berasal dari kegiatan membaca ataupun dari kegiatan mendengar, melihat, merasakan, dan sebagainya.

2
Setelah berkali-kali menerapkan konsep mengikat makna—setiap kali usai membaca, saya pun menuliskan hasil-hasil membaca saya dan sebelum memulai menulis, saya pun membaca buku terlebih dahulu—saya merasakan sekali bahwa membaca memerlukan menulis (agar yang telah saya baca tidak hilang) dan menulis memerlukan membaca (karena membaca adalah memasukkan kata-kata ke dalam diri sementara menulis adalah mengeluarkan diri dengan bantuan kata-kata yang sudah tersimpan di dalam diri). Prinsip ini memberikan manfaat luar biasa ketika saya membaca dan menulis. Salah satu manfaat luar biasa itu adalah saya menjadi berdaya—tidak loyo dan malas dalam melakukannya.

3
Menjalankan kegiatan mengikat makna memberikan semacam pengalaman yang sangat berharga bagi diri saya. Pengalaman itu berupa pemberitahuan (alarm) bahwa bukan kegiatan membaca dan menulisnya yang penting, melainkan kegiatan meraih maknalah yang harus dipentingkan. Membaca dan, apalagi, menulis adalah kegiatan yang tidak ringan. Kedua kegiatan ini memerlukan pemikiran yang sangat tinggi serta, kadang, menguras waktu dan tenaga. Apabila kita menjalankan baik kegiatan membaca maupun menulis dan kemudian dari kegiatan itu kita tidak mendapatkan sesuatu yang penting dan berharga (makna), kita pun akan berhenti menjalankannya. Ada kemungkinan—sekali lagi jika kebermaknaan itu tidak dapat kita raih—untuk memulai lagi membaca dan menulis ada semacam kemalasan (beban berat) yang melanda diri kita.

4
Apabila Anda ingin mencoba memahami konsep mengikat makna dan kemudian secara perlahan-lahan menerapkannya, perhatikanlah ihwal peraihan makna itu. Mengikat makna tidak mengajarkan atau melatihkan kegiatan membaca dan menulis. Mengikat makna ingin menunjukkan kepada Anda bahwa kebermaknaan (sesuatu yang sangat penting dan berharga) dapat diraih lewat kegiatan membaca dan menulis yang disatupadukan. Maknalah yang akan menggerakkan diri Anda untuk terus membiasakan diri membaca dan menulis. Maknalah yang akan membangkitkan antusiasme Anda untuk secara kontinu dan konsisten berlatih membaca dan menulis. Dan hanya maknalah yang akan membuat diri Anda bahagia—apa pun yang Anda kerjakan.

5
Hasil-hasil kegiatan mengikat makna sering saya sebut sebagai “ikatan makna”. Ini bukan sekadar catatan, resensi, ikhtisar, kesimpulan, atau apalah istilahnya. Bentuknya memang tulisan, tapi tulisan itu merekam sesuatu yang sangat penting dan berharga yang berasal dari diri pribadi Anda. “Ikatan makna” disarankan untuk ditulis secara sangat personal dengan menggunakan kata ganti orang pertama, “Aku” atau “Saya”. Contoh: “Aku baru saja membaca novel Laskar Pelangi; apa yang kudapat ya dari novel tersebut? Oh, di halaman 230 (misalnya), aku terkesan dengan tokoh bernama Lintang. Semangat belajarnya luar biasa. Bla-bla-bla….” Jadi, selain menggunakan kata ganti orang pertama (“Aku”), sebuah “ikatan makna” yang baik perlu diawali dengan pertanyaan. Selebihnya, “ikatan makna” dibuat sesuai dengan keinginan si pelaku mengikat makna.

6
Membaca dan menulis itu merupakan keterampilan. Jadi, jika kita tidak melatih diri kita—dalam membaca dan menulis—ya kita tidak akan memiliki keterampilan tersebut. Apabila kita tak memiliki keterampilan membaca dan menulis, tentulah kita akan kepayahan—atau bahkan tersiksa—dalam menjalankan kegiatan membaca dan menulis. Membaca buku-buku akademis menjadi sangat berat dan membebani. Menulis pun menjadi tersendat-sendat, tidak nyaman, dan membuat frustrasi. Jika toh akhirnya dapat menghasilkan tulisan, tulisan itu membuat diri menjadi tidak percaya diri, dan sebagainya. Saya menggunakan konsep mengikat makna untuk meningkatkan keterampilan membaca sekaligus menulis. Mengikat makna saya disiplinkan untuk saya lakukan setiap hari. “Ikatlah ilmu dengan menuliskannya” (kata-kata Sayyidina Ali bin Abi Thalib r.a.) ini menjadi fondasi saya untuk membaca dan menuliskan (mengikat) hasil yang saya baca setiap hari. Mendapatkan ilmu menjadi pendorong dan pembangkit semangat saya untuk terus membaca dan menuliskan apa yang saya baca.

7
Setelah bertahun-tahun menjalankan kegiatan mengikat makna, saya pun tertarik untuk mengaitkan kegiatan membaca dan menulis yang disatupadukan ini dengan kata-kata Stephen R. Covey, penulis The 7 Habits of Highly Effective People. Menurut Covey, “Kemenangan publik mustahil diraih sebelum kemenangan pribadi. Anda tidak dapat membalik soal ini: Jika ingin memetik buah, Anda harus menanam terlebih dahulu.” Bagi saya, kemenangan publik adalah keberhasilan seseorang dalam mempublikasikan tulisan-tulisannya. Misalnya, Anda berhasil membuat buku dan buku itu banyak diminati konsumen. Atau, artikel ciptaan Anda sukses menembus harian nasional, Kompas. Nah, untuk meraih kemenangan publik, Anda perlu meraih terlebih dahulu kemenangan pribadi. Kemenangan pribadi adalah kesuksesan Anda dalam mengalahkan kemalasan berlatih membaca dan menulis di “ruang privat”. Ingat, membaca dan menulis adalah keterampilan. Anda tidak dapat sukses di luar tanpa meraih sukses terlebih dahulu di dalam. Hanya dengan berlatih membaca dan menulis di “ruang privat”-lah Anda dapat menemukan kepercayaan diri. Berlatih mengikat makna di “ruang privat” ini kemudian saya istilahkan sebagai MUDS (Menulis untuk Diri Sendiri). MUDS yang dibiasakan setiap hari adalah bukti bahwa kesuksesan di dalam (kemenangan pribadi) telah berhasil Anda raih.

8
Pada 2011, usia konsep mengikat makna hampir mencapai 10 tahun. Selama 10 tahun itu, saya terus memperbaiki konsep dan penerapannya. Perbaikan itu saya lakukan karena saya sering diminta untuk memberikan pelatihan membaca dan menulis berbasis mengikat makna. Lewat interaksi yang intensif dengan para peserta pelatihan, saya kemudian mendapatkan gagasan-gagasan baru guna memperbaiki konsep saya. Bagaimana saya mendapatkan gagasan baru? Saya mendapatkan gagasan baru lewat pemberian pengalaman menulis—bukan teori menulis. Setiap kali memberikan pelatihan menulis, saya juga mengajak para peserta untuk berpraktik mengikatmakna. Nah, ketika saya mencetuskan pertama kali konsep mengikat makna, tepatnya pada 12 Juli 2001, saya sudah menyimpan banyak sekali gagasan. Salah satu gagasan yang berkembang kemudian adalah tentangQuantum Reading dan Quantum Writing—bagaimana membaca dan menulis yang dapat melejitkan potensi diri. Pada 2004, saya membuat Mengikat Makna untuk Remaja. Ini buku mengikat makna yang sangat praktis. Lalu pada 2005, saya membuat Mengikat Makna Sehari-hari. Buku ini mengajak siapa saja untuk memetik manfaat membaca dan menulis dengan cara memecahkan setiap problem membaca dan menulis. Dan pada 2009, saya membuat Mengikat Makna Update. Buku ini merupakan perkembangan mutakhir konsep mengikat makna. Konsepmengikat makna saya kembangkan dengan menggunakan “alat” canggih bernama “mindmapping” (pemetaan pikiran) temuan Tony Buzan.

9
Sekali lagi, gagasan tentang mengikat makna ini muncul berkat kata-kata Sayyidina Ali bin Abi Thalib r.a., “Ikatlah ilmu dengan menuliskannya.” Lantas, saya juga diyakinkan oleh ahli linguistik, Dr. Stephen D. Krashen, lewat riset yang dibukukan dengan judul The Power of Reading, bahwa ada hubungan antara membaca dan menulis. Menurut Dr. Krashen, hampir semua orang yang berhasil memiliki kemampuan menulis diakibatkan oleh kegiatan membacanya.

Dengan berjalannya waktu, saya terus mengumpulkan pengalaman para ahli dalam menjalankan kegiatan membaca dan menulis. Saya membaca buku-buku yang membahas kegiatan membaca dan menulis yang disoroti dari pelbagai disiplin ilmu. Dari Dr. James W. Pennebaker, seorang psikolog peneliti, saya memperoleh sebuah hasil riset yang dahsyat bahwa menulis dapat menyembuhkan (lihat bukunya, Opening Up: The Healing Power of Expressing Emotions, The Guilford Press, New York, 1997).

Lantas dari Natalie Goldberg (seorang instruktur menulis-bebas yang sangat terkenal di Amerika Serikat) dan Peter Elbow (seorang akademisi) saya diajari bagaimana mengawali menulis dengan menggunakan teknik “membuang” apa saja yang ada di dalam pikiran (lihat Goldberg, Writing Down the Bones: Freeing the Writer Within, Shambala Publications Inc., Massachusetts, 1986, dan Elbow, Writing without Teachers, Oxford University Press, New York, 1998).

Lewat riset-riset neurologis, salah satunya ditunjukkan oleh Roger Sperry, saya pun dapat menulis dengan menggunakan dua belahan otak kiri dan kanan (lihat Bobbi DePorter dan Mike Hernacki, Quantum Learning, Kaifa, Bandung, 1999). Saya juga dapat membaca dan menulis dengan memanfaatkan kecerdasan majemuk (multiple intelligences) temuan Howard Gardner (lihat Thomas Armstrong, Sekolah Para Juara: Menerapkan “Multiple Intelligences” di Dunia Pendidikan, Kaifa, Bandung, 2002).


10
Akhirnya, konsep mengikat makna ini memang tak berhenti pada kegiatan membaca dan menulis untuk keperluan membuat skripsi atau menulis artikel di media massa. Memiliki kemampuan membaca dan menulis untuk menulis skripsi dan karya ilmiah jelas sangat penting. Namun, saya ingin mengajak Anda semua untuk menjadikan kegiatan membaca dan menulis tak hanya sebatas untuk itu atau berhenti di situ.

Izinkan, di sini, saya mengutip kata-kata Prof. Dr. Riris K. Toha-Sarumpaet—Guru Besar Fakultas Ilmu Pentetahuan Budaya Universitas Indonesia—yang ada di sampul belakang buku Mengikat Makna Update (Kaifa, 2009): “Hernowo tak hanya bicara tentang keterampilan baca-tulis; lebih dari itu, dia terutama bicara tentang sebuah kehidupan yang bermakna.”

Terus terang, dalam Mengikat Makna Update, saya memanfaatkan membaca dan menulis untuk meraih kebahagiaan. Saya ingin mengutip komentar Arvan Pradiansyah, penulis buku bestseller The 7 Laws of Happinessyang juga ada di buku Mengikat Makna Update: “Hernowo menulis buku yang sangat menarik yang dapat mengubah paradigma Anda mengenai membaca dan menulis. Dua kegiatan ini bukanlah untuk orang-orang tertentu saja, tetapi untuk siapa pun yang ingin menemukan jati diri dan meraih kebahagiaan yang sejati.”[]


30 Hari Menulis Menelusuri Kenangan....




Oleh Hernowo


Seluruh bahan untuk karya sastra saya ini adalah masa lalu saya.
—MARCEL PROUST

Alhamdulillah, saya berhasil lagi menulis nonstop selama 30 hari. Ritual ini saya lakukan untuk menjaga stamina menulis dan, juga, membaca saya. Saya tak ingin “mengikat makna” yang sudah saya rumuskan sekitar 9 tahun lalu itu tak berdaya. Saya akan terus menggunakan dan memperbaikinya. Berkat “mengikat makna”—menggabungkan secara sangat ketat kegiatan membaca dan menulis dalam satu paket—diri saya menjadi kaya raya. Bukan uang atau harta yang saya punya, tapi ilmu.

Ketika saya menulis selama 30 hari nonstop setiap hari, saya juga harus membaca. Kenangan itu ternyata tidak bisa muncul begitu saja. Kenangan harus dipancing atau “diobok-obok”—meminjam kata-kata Joshua—agar kenangan itu membanjir keluar dan dapat saya tuliskan. Kenangan yang saya inginkan keluar itu adalah kenangan ketika saya dulu, semasa duduk di SMA dan perguruan tinggi, secara mencicil membaca karya-karya sastra. Saya membaca karya sastra sesuai pilihan saya. Saya membaca bukan karena tugas yang diberikan oleh sekolah. Saya membaca karena naluri saya.


Ketika mendengar Pusat Dokumentasi (PDS) Sastra H.B. Jassin mau tutup, tiba-tiba saja kenangan lama itu mendorong saya untuk menulis—dalam bahasa saya saat ini menulis adalah identik dengan “mengikat”. Lewat kegiatan “mengikat makna”, kenangan itu—semoga ada manfaatnya—dapat saya bagikan kepada orang lain. Namun, bukan itu yang saya tuju sesungguhnya. Dengan “mengikat makna”, saya pun membangun-kembali (merekonstruksi) kenangan-kenangan itu menjadi ilmu. “Ikatlah ilmu dengan menuliskannya,” begitu pesan Sayyidina Ali kepada saya.

Mula-mula saya menemukan judul kecil yang saya jadikan serial tulisan saya: “Mari Rame-Rame Membaca Karya Sastra”. Saya berpendapat bahwa untuk “menghidupi” PDS H.B. Jassin tak ada cara lain kecuali bangsa ini mau membiasakan membaca. Tentu saja, uang dan alat-alat untuk memindahkan materi teks ke materi digital penting. Namun, setelah uang terkumpul dan alat-alat tersedia, isi PDS itu baru akan menyala dan bermanfaat jika dibaca, diteliti, dan diserap “makna”-nya. Saya juga ingin bukan hanya PDS H.B. Jassin yang dinyalakan dan dipedulikan. “PDS-PDS” lain di daerah dan, terutama, lembaga arsip dan perpustakaan yang menyimpan warisan sastra dan budaya, perlu juga diperhatikan dan disulut agar menyala.


Saya menitikkan airmata ketika, suatu hari, edisi Kompas Minggu memajang tulisan tangan Chairil Anwar di halaman depan. Bukan karena sedih atau kecewa atau marah; saya benar-benar bingung dan tidak bisa berbuat apa-apa. Itu bukan sekadar tulisan tangan. Itu adalah warisan yang sangat berharga dari seorang penyair Angkatan ’45. Ada kenangan. Ada upaya. Ada kesungguhan di dalam tulisan tangan itu. Meski, saya tahu benar, bahwa tulisan tangan yang berisi puisi itu sudah dicetak dalam bentuk lain—dan mungkin nanti ada bentuk digitalnya—namun betapa bangsa ini telah menyia-nyiakan dokumentasi yang sangat berharga itu.

Ketika saya dulu berkunjung ke British Museum di London, saya sempat menyaksikan tulisan tangan Virginia Woolf—novelis Inggris yang dianggap sebagai salah satu tokoh terbesar sastra modern—yang disimpan dalam pigura kaca yang indah. Juga coretan tangan Paul McCartney—salah satu anggota grup musik The Beatles—ketika menciptakan lirik “Yesterday” juga masih dapat saya rasakan kedahsyatan energinya karena disimpan dengan rapi dan indah dalam sebuah kotak kaca. Saya ingin tulisan tangan Chairil Anwar juga dihargai dan dilindungi agar generasi yang hidup 100 tahun lagi dapat merasakan bahwa ada energi luar biasa yang dimiliki sang penyair.


Saya memulai memunculkan kenangan-lama lewat jasa sederet puisi. Puisi-puisi itu berhasil membangkitkan keindahan dalam diri saya. Lewat puisi, saya diajari untuk merasakan keindahan yang disampaikan oleh kata-kata. Selanjutnya, saya mencoba mengeluarkan kenangan-lama saya yang berbentuk keindahan teater (seni pertunjukan), lukisan (seni rupa), musik (seni suara), dan baru kemudian buku-buku sastra. Buku-buku sastra tak sekadar berisi kata. Sastra, bagi saya, adalah kehidupan yang sangat bermakna. Seperti kata Marcel Proust yang pendapatnya saya kutip untuk mengawali tulisan ini, sastra—bagi yang dapat menciptakan karya-karya sastra—dapat membantu seseorang untuk tidak mengabaikan perjalanan panjang dalam menempuh kehidupan yang sangat berkualitas.

Di dunia ini, kita tidak langsung menjadi sesuatu. Kita menjadi sesuatu yang, semoga, bermakna lewat sebuah proses panjang. Dan tentu saja, setelah kita hidup di dunia ini, kita masih harus hidup di alam lain. Memiliki kenangan akan perjalanan jauh kita di dunia adalah sebuah modal yang sangat penting untuk—kelak—menempuh perjalanan yang lebih panjang dan jauh di alam sana. Buku-buku sastra telah membantu saya dalam memperkaya perjalanan saya di dunia. Dan tak berhenti di situ, buku-buku sastra telah memberikan kepada saya sebuah kehidupan yang indah dan bermakna. Saya ingin megenangnya nanti jika sudah hidup di alam sana—tentu yang saya kenang adalah jasa para sastrawan yang buku-bukunya sempat saya baca.[]

Senin, 03 Juni 2013

Menulis Mengalir



Oleh Hernowo Hasim



Di beberapa acara seminar dan pelatihan menulis, istilah “menulis mengalir” ini sudah sempat saya perkenalkan. Juga di beberapa buku dan tulisan-tulisan esai-pendek saya. Saya merasakan bahwa saya baru merasa percaya diri untuk menampilkan kegiatan “menulis mengalir” itu pada awal 2011.

Saya bersyukur dapat membaca sebuah artikel pendek karya Farid Gaban. Dalam artikel tersebut, Farid menunjukkan kepada saya adanya beberapa penulis hebat—dalam dan luar negeri—yang berhasil menyajikan tulisannya dalam gaya “creative non-fiction” (menulis tulisan nonfiksi secara kreatif atau menulis tulisan nonfiksi secara fiksi).

Tak lupa, lewat artikelnya, Farid mendaftar mendaftar lima syarat yang perlu dimiliki seorang yang ingin dapat menggunakan gaya “creative non-fiction”. Lima syarat tersebut adalah pertama, punya rasa ingin tahu yang tinggi dan ketekunan; kedua, ingin membagi tulisannya ke siapa saja; ketiga, dirinya dilibatkan dengan materi yang ditulisnya; keempatresourcefulness (suka membaca, melihat, dan mendengar banyak hal); dan kelima, punya kemampuan mendongeng (menjadi storyteller).

Setelah membaca artikel Farid, tercetuslah—di benak saya—konsep “menulis mengalir”. “Menulis mengalir” adalah sebuah kegiatan menulis yang dapat membantu si penulis untuk mengeluarkan dirinya lewat kata-kata yang dipilih, disusun, dan dirangkainya. Artinya, kata-kata yang dituliskannya itu—yang berhasil membangun sebuah makna—memang benar-benar mewakili dirinya yang unik.

Apa persyaratan yang perlu dipenuhi seseorang yang ingin “menulis mengalir”? Persis sama dengan persyaratan yang ditetapkan oleh Farid Gaban. Dalam kesempatan ini, saya ingin memberikan contoh praktis bagaimana “menulis mengalir” itu dapat Anda coba praktikkan.

Pertama, Anda perlu mempersepsi bahwa Anda sendirian di muka bumi ketika ingin menjalankan kegiatan “menulis mengalir”.

Kedua, gunakanlah kata ganti orang pertama—“aku” atau “saya”—di awal kalimat yang ingin Anda ciptakan. Contoh, “Aku mau menulis apa hari ini?” atau “Saya baru saja membaca buku karya Rhenald Kasali,Change! ; apa yang saya peroleh dari buku tersebut?”

Ketiga, terus bertanya kepada diri sendiri tentang sesuatu yang ingin ditulis serta—ini penting sekali—hindarkan diri untuk mengoreksi tulisan.

Bagi saya sendiri, “menulis mengalir” ini baru merupakan kegiatan menulis yang setengah jalan—alias masih berada di angka lima puluh persen. “Menulis mengalir” adalah kegiatan menulis untuk mengeluarkan bahan-bahan tulisan yang masih sangat mentah.

Nah, agar hasil dari kegiatan “menulis mengalir” itu lengkap dan utuh, diperlukan kegiatan tambahan yang lima puluh persen. Pertama, mengendapkan hasil “menulis mengalir” itu selama satu hari. Kedua, membaca secara “ngemil” dan bersuara hasil yang sudah sehari diendapkan. Dan ketiga, merevisi—bukan mengoreksi tulisan yang salah-- yaitu menambahkan “visi” baru dalam tulisan tersebut.[]