Powered By Blogger
Tampilkan postingan dengan label Catatan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Catatan. Tampilkan semua postingan

Minggu, 09 Maret 2014

Pendidikan Antikorupsi Dalam Keluarga



oleh : Muhammad Kosim



Bangsa ini mesti bersatu melawan korupsi. Untuk mem­berantas korupsi tidak saja dilakukan melalui penegakan hukum, akan tetapi perlu dilakukan upaya preventif berupa pendidikan tentang pemberantasan dan gawatnya korupsi itu sendiri. Semua itu mesti didukung oleh semua lapisan masyarakat.




Pendidikan antikorupsi juga mesti dilakukan di tingkat keluarga. Sebab keluarga me­rupakan lembaga pen­didikan pertama yang dialami dan diterima oleh setiap manusia. Untuk itu, pembentukan ke­pribadian paling efektif dila­kukan di tingkat keluarga.
Dalam perspektif Islam ditegaskan: jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka (Qs. At-Tahrim/66: 6). Pesan ini menunjukkan adanya tang­gung jawab setiap individu untuk mendidik keluarganya agar terhindari dari segala bentuk perilaku yang negatif, tidak bermanfaat atau perilaku yang dapat menimbulkan mudharat.
Orang yang paling ber­tanggung jawab dalam keluar­ga tentu kedua orang tua; ayah dan ibu. Dalam konteks pen­didikan antikorupsi ini, orang tua memiliki tanggung jawab penting dalam mendidik anak-anak dan keluarganya agar terhindar dari korupsi. Dalam hal ini, ada beberapa hal yang patut dilakukan.


Pertama, menyadari bahwa hasil korupsi akan meracuni rohaniah anak dan keluarga. Dalam mindset orang tua mesti terbentuk bahwa korupsi adalah pekerjaan haram. Jika korupsi yang dilakukan itu me­ng­hasilkan uang dan di­gunakan untuk memberi makan anak dan istri, sesungguhnya ia telah membentuk keluarga yang bermental buruk, rohaniahnya rusak, sulit menerima ke­benaran dan cenderung merasa senang dan nyaman melakukan hal-hal yang diharamkan. Te­gasnya mereka jauh dari hidayah Allah.
Mengenai dampak negatif makanan yang haram terhadap perkembangan psikologis anak, juga diceritakan oleh Hamka dalam tafsirnya, al-Azhar. Ia mengutip kisah Abu Muham­mad al-Juwaini, seorang per­muda yang taat beribadah kepada Allah dan sangat ber­hati-hati kepada suata perkara yang subhat. Suatu ketika ia menikahi seorang perempuan yang shalehah, taat beribadah kepada Allah SWT. Dari hasil pernikahan itu lahirlah seorang anak laki-laki yang diberi nama Abdulmalik.
Setelah anak itu lahir, al-Juwaini berpesan sangat kepada istrinya jangan sampai ada perempuan lain yang me­nyusukan anak itu. Namun, suatu ketika istrinya sakit sehingga air susunya kering, sementara Abdilmalik yang masih bayi  itu menangis kehausan. Lalu datanglah tetangganya, seorang perem­puan yang merasa kasi­han mendengar tangisan anak itu. Perempuan itu pun mengambil dan menyusukan anak tersebut. Tiba-tiba datanglah Abu Mu­hammad al-Juwaini. Melihat anaknya disusui oleh perem­puan lain, dia pun tidak senang sehingga perempuan tersebut tahu diri dan bergegas pergi.
Kemudian al-Juwaini me­ngam­bil anak itu lalu me­nong­gengkan kepalanya dan me­ngorek mulutnya, sehingga anak itu memuntahkan air susu perempuan tetangga tadi. Beliau pun berkata: “Bagiku tidak keberatan jika anak ini mening­gal di waktu kecilnya, dari pada rusak perangainya karena me­minum susu perempuan lain, yang tidak aku kenal ke­taatannya kepada Allah.”
Anak yang bernama Ab­dulmalik itu kemudian terkenal dengan nama Imamul Haramain Abdulmalik al-Juwaini, ia adalah seorang ulama mazhab Syafi’i yang masyhur, pengikut teologi al-Asy’ari, guru dari madrasah-madrasah Naisabur dan salah seorang yang men­didik Imam al-Ghazali, sampai menjadi ulama besar pula. Kadang-kadang sedang me­ngajarkan ilmunya pernah beliau marah-marah. Ketika itu, berkatalah dia setelah sadar dari kemarahannya, bahwa “(marah) ini barangkali adalah dari bekas sisa susu perempuan lain itu, yang tidak sempat aku mun­tahkan.”
Hanya air susu dari seorang perempuan yang tak dikenal ketaatannya kepada Allah dapat berakibat mentalitas seseorang sulit mengendalikan emo­sionalnya, padahal orang ter­sebut telah menjadi ulama besar. Lalu bagaimana dengan men­talitas seorang anak yang di­besar­kan dengan hasil ko­rupsi? Dan al-Juwaini adalah prototype orang tua yang sadar bahaya makanan subhat, apalagi haram, terhadap perkembangan men­talitas anaknya.


Kedua, jangan mengukur segala sesuatu dengan materi. Orang tua mesti mengajarkan kepada anaknya bahwa yang materi bukanlah tujuan (goal), tetapi sebagai sarana untuk mencapai tujuan. Namun, ter­kadang orang tua tidak sadar bahwa apa yang ia lakukan telah mengajarkan kepada anaknya bahwa materi meru­pa­kan tujuan dan indikator utama dalam mencapai kesuk­sesan. Misalnya, mem­berikan reward atau peng­hargaan kepada anak hanya dengan materi semata. Jika anak meraih prestasi, maka orang tuanya memberi imbalan berupa uang. Jika anak mau disuruh, juga diberi imbalan uang. Dan seterusnya. Akibatnya, psi­kologis anak akan terbentuk dengan “segala sesuatu diukur dengan uang”.
Boleh saja reward yang diberikan berupa materi. Namun mesti seimbang de­ngan mengoptimalkan spiri­tualitasnya. Imbalan tidak hanya berupa uang, tetapi bisa berupa pujian, ucapan yang menyenangkan, atau dengan cara berbagi dengan sesama; anak yatim, fakir miskin dan sebagainya.
Begitu pula dengan mem­berikan arti tentang sukses, janganlah diukur dengan materi semata. Ketika mem­bimbing anak untuk bercita-cita, jangan hanya karena besarnya jumlah uang yang dihasilkan dari apa yang dicita-citakan. Tetapi cita-cita tersebut dipilih karena diang­gap profesi itu banyak mem­beri manfaat bagi orang lain, berperan eksis di tengah masyarakat, hidup bernilai dan diridhai Allah SWT.


Ketiga, memberikan kete­ladan kepada keluarga. Orang tua mesti menjadi teladan bagi anak-anaknya untuk tegas mengatakan tidak pada korup­si. Orang tua senantiasa mem­berikan pemahaman kepada anaknya bahwa hidup yang bernilai bukanlah kemewahan, tetapi keteguhan hati dalam menjalankan nilai-nilai ke­benaran.
Selain itu, korupsi tidak saja dipahami dari segi materi seperti mengambil uang yang bukan haknya. Tetapi korupsi juga dapat terjadi pada waktu, atau korupsi waktu. Hidup disiplin, menghargai waktu dan mengisinya dengan kegiatan positif merupakan hal penting yang mesti diajarkan oleh orang tua kepada anak-anak­nya dengan penerapan, bukan teori semata.
Keempat, memberikan pemahaman kepada anak sejak dini bahwa korupsi adalah perbuatan tercela. Orang tua hendaknya menanamkan ke­ben­cian terhadap korupsi. Dalam suatu hadis dijelaskan bahwa ketika seorang sahabat bernama Kirkirah mati di medan perang, Rasulullah saw. bersabda: “dia masuk neraka”. Para sahabat pun bergegas pergi me­nye­lidiki perbekalan pe­rangnya. Mereka mendapatkan mantel yang ia korup dari harta rampasan perang. (H.R Bukhari dalam kitab Jihad wa al-sair). Demikian kerasnya kecaman Islam terhadap para koruptor.

Selain itu, untuk me­nanam­kan kebencian ter­hadap korup­si, orang tua perlu me­negaskan bahwa ke­banggaannya sebagai orang tua bukanlah karena anak-anaknya kelak menjadi orang kaya-raya, tetapi ke­banggaan yang sebenarnya adalah ketika menyaksikan anak-anaknya menjadi orang yang shaleh, teguh memegang prinsip kebenaran. Dengan begitu diharapkan mereka akan menjadi insan yang berprinsip, tidak mudah tergoda oleh pengaruh lingkungan yang rusak, termasuk korupsi yang seakan membudaya.
Terakhir orang tua juga hendaknya senantiasa berdoa kepada Allah agar anak dan keluarganya terhindar dari perbuatan-perbuatan maksiat, terutama perbuatan yang ter­kutuk, seperi korupsi ini. Doa Nabi Ibrahim as patut dicontoh oleh orang tua: "Rabbi habli minashshalihin, Ya Allah anugerahkanlah kepadaku anak yang shaleh”.
Dengan upaya dan doa seperti ini, insya Allah kita mampu melahirkan anak-anak yang anti terhadap korupsi. Mereka tetap istiqamah me­negakkan kebenaran dan me­me­rangi kebatilan. Insya Allah.



Sumber : http://www.harianhaluan.com/



Al-Ghazali dan Pendidikan Anti-Korupsi


Tidak ada bayi baru lahir langsung jadi koruptor. Manusia lahir asalnya bersih, kullu mawlkdin ykladu ‘alal fitrah, kata Nabi. Kejahatan dan sifat tercela diperoleh dari lingkungan dan intelektualnya.

Bayi lahir asalnya bersih, Kullu mauludin yuladu alal fitrah

Oleh: Dr. Syamsuddin Arif

HAMPIR setiap hari sejak beberapa bulan terakhir, kita dibombardir berita korupsi dari kelas kakap hingga kelas teri. Dari tingkat pusat sampai level kelurahan. Dari pegawai biasa hingga pejabat tinggi. Dari pengusaha hingga politisi. Tak terkecuali jaksa, hakim, dan polisi, bahkan menteri. Sepanjang tahun 2004 hingga 2012 saja, data dari Kemendagri mencatat, ada 2.976 anggota DPRD Tingkat I dan DPRD Tingkat II terlibat tindakan kriminal, dimana 33,2 persen atau 349 kasus adalah korupsi. Umumnya kasus manipulasi anggaran atau mark-up biaya pengadaan barang, fasilitas dan jasa. Juga pemungutan biaya ilegal atas layanan publik, pemberian suap alias gratifikasi dan penyalahgunaan wewenang atau jabatan untuk kepentingan dan keuntungan pribadi maupun relasi.
Di satu sisi, berita-berita tersebut justru menimbulkan frustasi ketimbang harapan. Kepercayaan masyarakat jadi makin surut pada institusi-institusi di negeri ini. Alih-alih prihatin atau malu, publik maupun pelaku kini sama-sama menjadikan korupsi sebagai bahan guyonan, karena kritik dan sindiran setajam apapun tak lagi mempan. Seperti seloroh Mbah Kartolo di TIM Jakarta: “Paling enak numpak motor, paling aman numpak sepur. Paling aman dadi koruptor, nek konangan ya ndek Singapur”. Maksudnya: paling nyaman naik motor, paling aman naik kereta. Paling aman jadi koruptor, kalau ketahuan kabur ke Singapur(a). Maka muncul di sisi lain tanda tanya besar dalam benak kita: Apakah sebab ini semua dan adakah obatnya?
Tiga Teori
Secara umum, penjelasan para ahli mengenai korupsi dapat dikelompokkan menjadi tiga.
Pertama, teori kesempitan yang mengatakan bahwa orang korupsi karena gajinya kecil, pendapatannya rendah, hidupnya susah, kebutuhan banyak. Maka solusinya, menurut teori ini, kesejahteraan perlu ditingkatkan dan gaji dinaikkan. Namun masalahnya, jika teori kesempitan ini benar, mengapa banyak pelaku korupsi itu ternyata orang-orang yang kehidupannya makmur? Maka disodorkanlah dua tipe korupsi: yaitu korupsi karena kesempitan hidup (corruption out of need) dan korupsi karena rakus (corruption out of greed). Seperti hasil penelitian Vito Tanzi (1998, hlm. 572), kenaikan gaji dan kecukupan tidak menjamin orang berhenti atau enggan korupsi.
Teori kedua boleh kita namakan teori kesempatan. Menurut teori ini, orang korupsi karena adanya kesempatan, kendati awalnya mungkin tidak punya keinginan atau rencana sama sekali. Namun teori ini pun bermasalah juga. Apakah semua orang yang punya kesempatan pasti korupsi? Bukankah pada kenyataannya tidak sedikit orang berkesempatan korupsi tetapi tidak melakukannya? Teori yang berpijak pada asumsi keliru ini menganggap manusia itu cenderung berbuat jahat. Maka dari itu semua pintu korupsi hendaklah dikunci rapat-rapat. Jangan sekali-sekali memberi ruang atau peluang walau sedikit atau sekecil apapun.
Namun lagi-lagi masalahnya seperti kata Iwan Fals (1986), “Otak tikus memang bukan otak udang.” Otak koruptor tidak sama dengan otak komputer. Jika sudah niat korupsi, ada atau tidak ada kesempatan itu bukanlah persoalan. Kesempatan bisa dicari, bahkan diciptakan. Dimana ada kemauan, disitu ada jalan.
Adapun yang ketiga adalah teori kelemahan. Pendukung teori ini percaya bahwa tindak korupsi merebak akibat lemahnya tata kelola pemerintahan (poor governance), lemahnya sarana penegakan hukum (weak legal infrastructure), dan lemahnya mekanisme pengawasan (weak monitoring system). Namun, teori ini pada gilirannya terjebak dalam logika ‘muter-muter’ alias circular reasoning. Bahwasanya korupsi disebabkan oleh pemerintahan yang lemah, dan pemerintahan yang lemah disebabkan oleh korupsi. Pemerintahan mesti kuat agar korupsi lenyap, dan korupsi baru lenyap bila pemerintahan kuat. Jadilah pertanyaannya sekarang bagaimana memutus lingkaran setan ini.
Perspektif Agama
Karena korupsi adalah tindakan curang untuk mendapatkan uang ataupun keuntungan dengan cara menyalahi, melangkahi, dan mengakali aturan hukum dan undang-undang negara, maka termasuk tindak korupsi itu memberi dan menerima suap (bribery), mencuri (theft) atau menggelapkan (embezzlement), melakukan pemalsuan (fraud), pemerasan (extortion), dan menyalahgunakan wewenang atau jabatan (graft). Semua praktek ini hukumnya jelas haram. Agama melarang keras perbuatan korupsi segala bentuk: ghisysy (menipu), mencuri (sariqah), menggelapkan (ghulul), menyuap (rasywah), dan menerima atau meminta suap (irtisya’).
“Siapa bertindak curang [yakni korupsi] niscaya datang dengan kecurangannya itu pada hari kiamat kelak”, firman Allah dalam al-Qur’an (3:161).
Menurut Imam ar-Razi, curang di sini maksudnya mengambil hak [milik negara] secara diam-diam atau sembunyi-sembunyi (at-Tafsir al-Kabir, cetakan Beirut 2005, jilid 3, juz. 9, hlm. 62).
Kanjeng Nabi Muhammad pun telah bersabda: “Wahai manusia, siapapun yang menjalankan tugas untuk kami, lalu dia menyembunyikan dari kami barang sekecil jarum atau lebih, maka apa yang disembunyikannya itu adalah kecurangan [yakni korupsi] yang kelak dibawanya pada hari kiamat”, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Imam Ahmad.
Bahkan dalam hadits lain, “Seutas tali sekalipun akan menjadi api neraka atau dua utas talipun akan menjadi api neraka [seandainya tidak dikembalikan].” (HR: Imām al-Bukhārī).
Kalau secara normatif agama begitu gamblang hukumnya, lantas mengapa faktanya kejahatan korupsi begitu sukar untuk dihentikan? Apabila kita cermati secara mendalam, niscaya jelas bahwa korupsi itu nyaris tidak ada hubungannya dengan status agama pelakunya.
Tindakan korupsi lebih erat kaitannya dengan soal mentalitas daripada identitas agama. Sebagaimana halnya kebersihan, kedisiplinan dan kerja-keras lebih banyak ditentukan oleh sikap dan watak individu ketimbang afiliasi ideologinya.
Nabi mengatakan, “Manusia itu ibarat logam. Kalau aslinya emas, maka apapun bentuknya –cincin, kalung, ataupun gelang– tetap emas.” Jika seseorang itu dasarnya baik, rajin dan jujur, maka dia akan menjadi Muslim, Kristen, Yahudi, Hindu, Buddha yang baik, rajin dan jujur. Sebaliknya jika wataknya buruk, licik, dan pemalas, maka apapun agamanya akan tetap jahat dan buruk perangainya.
Memang betul, manusia bukanlah logam. Manusia lahir asalnya bersih, kullu mawlūdin yūladu ‘alal fitrah, kata Kanjeng Nabi. Tidak ada bayi baru lahir langsung jadi koruptor. Kejahatan dan sifat-sifat tercela seperti halnya akhlak terpuji diperoleh dari lingkungan sosial dan intelektualnya. Jadi tak salah kalau disimpulkan bahwa korupsi itu hasil pembelajaran, pergaulan, dan pendidikan.
Di sinilah langkah kongkrit pemerintah (Kemendiknas) bersama KPK memperkenalkan mata pelajaran dan mata kuliah anti-korupsi di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi patut dipuji dan didukung sepenuh hati.
Betapa besar pengaruh pendidikan terhadap korupsi telah lama disinyalir oleh Ibn Khaldun, pakar sosiologi dan sejarawan Muslim klasik. Masyarakat yang sekian lama mengalami penindasan dan kekerasan biasanya akan menjadi bangsa yang korup. Kezaliman dan penindasan menyempitkan jiwa, menguras semangat, dan akhirnya membuat mereka jadi bangsa pemalas, pembohong dan licik. Meski berlawanan dengan hati nurani, hal itu dilakukan jua demi menghindari penindasan yang lebih berat dari penguasa. Lama-kelamaan, berbuat jahat dan menipu melekat jadi kebiasaan dan karakter mereka (Students, slaves, and servants who are brought up with injustice and tyranny are overcome by it. It makes them feel oppressed and causes them to lose their energy. It makes them lazy and induces them to lie and behave viciously. They contradict their conscience for fear of suffering further oppression. Thus they learn deceit and trickery). Demikian tulisnya dalam kitab ‘al-Muqaddimah’ yang diterjemahkan oleh Franz Rosenthal (1967).
Namun, disamping langkah-langkah legal, politis dan edukatif, pencegahan korupsi juga perlu menggunakan pendekatan spiritual agama. Kalau Anda puasa, jangankan yang haram, sedang yang halal pun tidak Anda makan. Sementara yang tidak puasa punya pilihan memakan yang halal saja, yang syubhat (belum tentu halal dan boleh jadi haram), atau bahkan yang haram.
Pada akhirnya semua ini kembali pada sikap. Menurut Imam al-Ghazālī, paling utama sikap orang sholeh dan wara’ yang menjauhi semua kategori karena zuhud. Yang pertengahan itu sikap orang bertaqwa yang menghindari syubhat dan menolak yang haram. Yang paling rendah adalah sikap tidak peduli halal haram dan sebagainya. Inilah resep Imam al-Ghazali untuk pendidikan anti-korupsi.*


Peneliti INSISTS dan Dosen ISID Gontor

Sumber : hidayatullah.com





Sabtu, 22 Juni 2013

Jas Merah

oleh : Syamsul Kurniawan,

(Pemerhati Pendidikan, Sosial dan Keagamaan, tinggal di Pontianak)



"JAS MERAH”, jangan sekali-kali meninggalkan sejarah, demikian diucapkan Bung Karno dalam pidatonya yang terakhir pada HUT RI tanggal 17 Agustus 1966. JAS MERAH yang dikumandangkan Bung Karno agaknya harus dicamkan benar oleh bangsa kita dewasa ini.

Semboyan ini tentunya bukan sekedar omong kosong belaka. Dengan mengetahui sejarah bangsanya maka seeorang dapat menghargai kehebatan dan jerih payah pendahulunya dalam membangun negeri ini dengan keringat darah. Bila manusia benar menghayati arti sejarah maka dapat membuat menciptakan semangat kebangsaan dan nasionalisme yang kuat yang dapat membabat habis benih-benih perpecahan bangsa. Di samping itu, bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya. Orang yang lupa pada sejarah tidak bisa merancang masa depan hidupnya, bahkan bangsanya tidak berjalan dengan normal.

Tidak ada salahnya kalau kita kembali membincangkan mengenai sejarah peradaban bangsa. Dengan mempelajari sejarah kita dapat mengetahui bahwa siapakah diri kita sebenarnya. Tanpa sejarah, kita tidak akan tahu siapa diri kita sebenarnya. Tanpa sejarah, kita tidak akan tahu siapa pahlawan kita, atau kenapa kita dilahirkan ketika Indonesia sudah merdeka.

Jadi jangan pernah menganggap bahwa sejarah hanyalah sebuah dongeng belaka. Karena kenangan dalam tiap lembar sejarah itu tertulis nama-nama pahlawan kita. Walau tidak dalam lembaran sehelai kertas, tapi ia akan tetap abadi dalam perputaran waktu yang mencatat prestasi kebaikannya. jadikanlah bahan perenungan buat kita untuk meneruskan apa yang sudah diwarisi kepada kita.


BAHAN EVALUASI DAN MOTIVASI

Menurut bahasa, sejarah berasal dari bahasa Arab, yaitu Asy-Syajaroh, yang berarti Pohon. Menurut istilah, “Sejarah adalah pengetahuan tentang proses-proses berbagai realitas dan sebab-musababnya secara mendalam,” demikian Ibnu Khaldun.

Sejarah, baik yang berupa kesuksesan maupun kegagalan, dapat dijadikan sebagai bahan evaluasi bagi diri kita, dan juga motivasi. Ketika Bung Karno mengumandangkan JAS MERAH, beliau sebenarnya ingin membangkitkan semangat perjuangan rakyat Indonesia melawan penjajah Belanda waktu itu. Ingatlah kejayaan Sriwijaya. Ingatlah kejayaan Majapahit. Ingatlah kejayaan Mataram. Bahwa Indonesia pernah menjadi bangsa yang dapat berdiri dengan gagah di antara bangsa-bangsa lain di dunia. Sejarah, merupakan kekuatan dahsyat yang tersembunyi dari seseorang atau bangsa.

Bila orang atau bangsa tersebut mau dan mampu memahami dan belajar dari sejarah, maka mempunyai kekuatan yang dahsyat yang dapat ia gunakan untuk menjalani kehidupannya di masa sekarang dan akan datang. Tak hanya menjalani, bahkan mempunyai visi kedepan. Tentu ia akan berpikir, kegagalan di masa lampau jangan sampai terulang di masa sekarang dan mendatang. Dan keberhasilan di masa lampau, harus mampu ia pertahankan dan dilipatgandakan di masa sekarang dan yang akan datang. “Janganlah melihat ke masa depan dengan mata buta! Masa yang lampau adalah berguna sekali untuk menjadi kaca bengala dari pada masa yang akan datang,” demikian Bung Karno.


MENJADI BIJAK MELALUI BELAJAR SEJARAH

Ada pepatah yang bilang “Orang cerdas belajar dari sejarah”. Sejak sejarah terbukti dapat mengajari kita untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama, maka hal pertama yang harus kita lakukan untuk membangun bangsa ini adalah dengan belajar dari sejarah.

Jika tahu bahwa krisis kepemimpinan membuat dinasti-dinasti yang pernah menguasai China jatuh dan pecah, maka kita jangan sampai membuat negara kita berada di dalam kondisi yang demikian itu. Jika kita tahu bahwa VOC bangkrut karena terlalu banyak korupsi di dalamnya, janganlah kita membuat negara kita ini bangkrut karena korupsi juga. Dengan belajar sejarah baik-baik maka kita setidak-tidaknya memiliki landasan yang baik untuk membangun negara kita, sama seperti sebuah pesawat untuk dapat lepas landas harus memiliki landasan yang baik dan cukup panjangnya.

Bagi sebagian bangsa Indonesia masih menganggap remeh manfaat mempelajari sejarah. Sejarah bagi sebagian orang dianggap sesuatu yang tidak lagi up todate atau ketinggalan zaman. Hal berbeda kita jumpai dalam sejarah bangsa Eropa dan Amerika. Orang Eropa dan Amerika sangat menghargai sejarah. Mereka menganggap dengan belajar sejarah dapat menyerap nilai-nilai positif yang ada dalam karya sejarah.

Salah satu kutipan yang paling terkenal mengenai sejarah dan pentingnya kita belajar mengenai sejarah ditulis oleh seorang filsuf dari Spanyol, George Santayana. Katanya: “Mereka yang tidak mengenal masa lalunya, dikutuk untuk mengulanginya.” Filsuf dari Jerman, GWF Hegel mengemukakan dalam pemikirannya tentang sejarah: “Inilah yang diajarkan oleh sejarah dan pengalaman: bahwa manusia dan pemerintahan tidak pernah belajar apa pun dari sejarah atau prinsip-prinsip yang didapat darinya.”

Kalimat ini diulang kembali oleh negarawan dari Inggris Raya, Winston Churchill, katanya: “Satu-satunya hal yang kita pelajari dari sejarah adalah bahwa kita tidak benar-benar belajar darinya.”

Dan bagi saya belajar sejarah seperti kita membaca buku diary orang lain, menarik dan menginspirasi kita untuk dapat menjadi lebih baik. Dengan sejarah saya bisa mengambil pelajaran dengan mempelajari sejarah dari sisi manapun. Mempelajari sejarah membuat saya mengetahui kisah-kisah inspiratif yang pernah terjadi, dan dapat juga dijadikan cerminan untuk kehidupan yang ada saat ini maupun di masa depan.

“JAS MERAH (Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah),” demikian pesan Bung Karno. Bagaimana dengan pilihan sikap Anda?.***/Kompasiana-15 September 2011 







Sabtu, 15 Juni 2013

Habiskan Kesedihan dan Airmata di Dunia



Engkau memiliki air mata yang terbatas.
Jika air matamu tidak tumpah didunia, maka ia akan tumpah di akherat.
Engkau memiliki gudang kesedihan.
Jika engkau habiskan di dunia, maka kesedihan akan terhapus dalam ingatanmu di akherat.
Dan engkau akan besama orang orang yang tidak sedih dalam menghadapi goncangan yang dasyat.
Oleh karena itu, bayarlah harga seluruhnya pada hari ini, karena di sana tidak ada lagi kesempatan tawar menawar.
Habiskan semua air mata dan kesedihan di dunia dengan bekal Dzikrullah!



Bagimana cara berdzikirnya ?

Ibnu Qayyim berkata, “Pada suatu hari aku berkata kepada Ibnu Taimiyah, ada seorang alim yang bertanya, ”Mana yang lebih bermanfaat bagi seorang hamba, tasbih (Subhanallah) atau Istighfar?”
Ibnu Taimiyah menjawab , “Jika baju yang sudah bersih, maka kapur barus dan air bunga mawar lebih bermanfaat baginya; jika baju kotor, maka sabun dan air panas lebih bermanfaat baginya.’
Kemudian ia berkata kepadaku, “Namun bagaimana dengan baju baju yang selalu kotor?”

Abdullah ibnu Umar berkata, “Aku menangis karena takut kepada Allah lebih aku sukai daripada aku bersedekah seribu dinar.”


Abul Faraj ibn Jauzi berkata,” Setetes air mata dipipi lebih bermanfaat daripada seribu tetes air hujan di bumi.”

Kamis, 13 Juni 2013

10 Falsafah Hidup Orang Jawa




image
DALAM berfilosofi, orang Jawa seringkali menggunakan unen-unen untuk menata hidup manusia. Makna dari ungkapan-ungkapan Jawa ini seringkali tidak dipahami oleh sebagian besar keturunan etnis Jawa di era modern ini. Maka tidak salah, jika muncul sebutan, “Wong Jowo sing ora njawani”.
Filosofi Jawa dinilai sebagai hal yang kuno dan ketinggalan jaman. Padahal, filosofi leluhur tersebut berlaku terus sepanjang hidup. Warisan budaya pemikiran orang Jawa ini bahkan mampu menambah wawasan kebijaksanaan.
Berikut 10 dari sekian banyak falsafah yang menjadi pedoman hidup orang Jawa.
1. Urip Iku Urup
Hidup itu Nyala, Hidup itu hendaknya memberi manfaat bagi orang lain disekitar kita, semakin besar manfaat yang bisa kita berikan tentu akan lebih baik.

2. Memayu Hayuning Bawana, Ambrasta dur Hangkara

Manusia hidup di dunia harus mengusahakan keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan; serta memberantas sifat angkara murka, serakah dan tamak.
3. Sura Dira Jaya Jayaningrat, Lebur Dening Pangastuti
segala sifat keras hati, picik, angkara murka, hanya bisa dikalahkan dengan sikap bijak, lembut hati dan sabar.
4. Ngluruk Tanpa Bala, Menang Tanpa Ngasorake, Sekti Tanpa Aji-Aji, Sugih Tanpa Bandha
Berjuang tanpa perlu membawa massa. Menang tanpa merendahkan atau mempermalukan. Berwibawa tanpa mengandalkan kekuasaan, kekuatan,kekayaan atau keturunan. Kaya tanpa didasari kebendaan.

5. Datan Serik Lamun Ketaman, Datan Susah Lamun Kelangan

Jangan gampang sakit hati manakala musibah menimpa diri. Jangan sedih manakala kehilangan sesuatu.
6. Aja Gumunan, Aja Getunan, Aja Kagetan, Aja Aleman
Jangan mudah terheran-heran. Jangan mudah menyesal. Jangan mudah terkejut-kejut. Jangan mudah ngambeg, jangan manja.
7. Aja Ketungkul Marang Kalungguhan, Kadonyan lan Kemareman
Janganlah terobsesi atau terkungkung oleh keinginan untuk memperoleh kedudukan, kebendaan dan kepuasan duniawi.
8. Aja Kuminter Mundak Keblinger, Aja Cidra Mundak Cilaka
Jangan merasa paling pandai agar tidak salah arah. Jangan suka berbuat curang agar tidak celaka.
9. Aja Milik Barang Kang Melok, Aja Mangro Mundak Kendo
Jangan tergiur oleh hal-hal yang tampak mewah, cantik, indah; Jangan berfikir mendua agar tidak kendor niat dan kendor semangat.
10. Aja Adigang, Adigung, Adiguna
Jangan sok kuasa, sok besar, sok sakti.
(Diantika PW/CN27)

Sumber :  http://www.suaramerdeka.com – tgl 27 September 2011- Pamomong.


Kartini Pribadi yang (Gemar) Membaca: Amazing Kartini! (3)



Kartini Pribadi yang (Gemar) Membaca: Amazing Kartini! (3)
Oleh Hernowo
“Peduli apa aku dengan segala tata cara itu. Segala peraturan, semua itu bikinan manusia dan menyiksa diriku saja.”
—Kartini (Surat kepada Stella, 18 Agustus 1899)
Kartini suka membaca dan kesukaannya ini membuat pikirannya terbuka dan terus menginginkan perubahan. Tempo menulis,“Kemerdekaan, persamaan, dan persaudaraan, inilah semboyan di masa Revolusi Prancis yang didapat Kartini dari bacaannya.” Apa yang diperoleh Kartini itu kemudian diterapkan ketika bergaul dengan adik-adiknya selepas masa pingitan. Kepada kedua adiknya, Roekmini dan Kardinah, Kartini mulai menerapkan gagasannya tentang persamaan derajat. Dia membebaskan kedua adiknya dari tradisi unggah-ungguh yang berlebihan. Sebagai contoh, dia tak mau adik-adiknya berjalan berjongkok ketika melewatinya. Kartini juga dengan tegas melarang adik-adiknya menyembah, berbahasa kromo inggil, dan melakukan segala etiket feodal lainnya. Kartini bahkan membiarkan Roekmini dan Kardinah memanggilnya “kamu”.
Ketika Kartini mengalami pingitan, menurut Tempo, dia merasa bersyukur karena masih tetap dibolehkan untuk meneruskan kegemarannya sedari kecil. Apa kegemarannya itu? Membaca. Selama dipingit, Kartini melahap habis buku-buku modern kiriman R.M. Panji Sosrokartono, kakak kandungnya yang “lebih beruntung” karena dapat melanjutkan sekolah di HBS Semarang hingga Universitas Leiden, Belanda. Kartini juga memanfaatkan kotak bacaan (leestrommel) langganan ayahnya, yang berisi buku, koran, dan majalah dari dalam dan luar negeri. Bacaan-bacaan bertema sosial, politik, hingga sastra itu membantu Kartini menemukan jawaban atas pertanyaannya selama ini.
baca6
Tanpa disadarinya, segala bacaan itu telah mendidiknya—yang selama ini seakan-akan dia merasa hanya menjadi perempuan muda Jawa yang terbuang dari pendidikan—untuk berjuang mendobrak tradisi yang menindas kaumnya. “Kecerdasan Kartini kian terasah ketika berkorespondensi dengan banyak orang Belanda,” tambah Tempo. Kemampuannya mengungkapkan pikirannya secara tertulis semakin membuat Kartini melejit. Pikiran Kartini yang telah berhasil memasukkan alam pikiran Eropa—lewat pelbagai bacaannya yang kaya itu—kemudian berhasil diakeluarkan lewat menulis setelah hal-hal yang masuk ke dalam pikirannya dikaitkan dengan keadaan diri dan masyarakatnya. Sebuah proses pendidikan (atau belajar) mandiri yang luar biasa.
Apakah Kartini menjadi amazing seperti itu dikarenakan kehidupannya yang mapan (hidup di lingkungan bangsawan Jawa dan dikitari oleh bahan bacaan yang kaya serta pergaulannya dengan bangsa asing) atau malah dikarenakan ketertindasannya?[]
baca5



Sumber : http://jofania.wordpress.com/2013/05/22/2619/




Kartini Pribadi yang (Ingin) Merdeka?: Amazing Kartini! (2)

Kartini Pribadi yang (Ingin) Merdeka?: Amazing Kartini! (2)
Oleh Hernowo
“Ya, Tuhan, terima kasih! Tuhan, terima kasih! Aku bisakeluar dari penjara sebagai seorang yang bebas.”
—Kartini

Kartini, secara fisik, mungkin tak bisa bebas. Dia, karena perempuan, dibatasi oleh semacam “tatakrama” pada masa dia hidup. Salah satunya, sebagaimana kita sama-sama mengetahuinya, dia harus mengalami “pingitan” (dikurung di dalam rumah ketika usianya menjelang remaja tanpa boleh berhubungan dengan dunia luar sampai ada seorang pria yang melamarnya). Namun, secara nonfisik, Kartini adalah manusia merdeka. Dia dapat mengembarakan pikirannya ke mana saja sesuai keinginannya. Adakah yang dapat membatasi atau mengerangkeng pikiran?
Kemerdekaan Kartini ditunjukkannya lewat kata-kata yang saya kutip untuk mengawali tulisan ini. Kata-kata itu tercantum di dalam surat pertama Kartini yang dikirimkan kepada gadis Belanda yang dia kenal lewat iklan di majalah De Hollandsche Lelie. Setelah empat tahun terkurung sendirian di balik tembok tebal sebagai gadis pingitan, kata-kata tersebut dapat menunjukkan pribadi Kartini yang tak mau diam dan hanya pasrah dengan keadaan. “Otak Kartini terus mempertanyakan mengapa begitu rendah kedudukan wanita di tanah kelahirannya. Begitu pula soal beraneka tradisi feodal lainnya,” tulis Tempo.
Kartini, tampaknya, memang pribadi yang memiliki jiwa gelisah dan rasa ingin tahu yang besar. Salah satu yang dapat menunjukkan pribadi-gelisah dan rasa ingin tahu Kartini adalah keinginannya untuk mendapatkan sahabat pena lewat iklan. Lewat iklan? Ya. Dikabarkan bahwa Kartini mengirim surat kepada Johanna van Woude (nama pena Sophie Margaretha Cornelia van Eermeskerken), pengasuh majalah DeHollandsche Leliedan salah satu perempuan pertama yang jadi anggota Masyarakat Sastra Belanda. Surat itu berisi permintaan Kartini agar dia dicarikan sahabat pena lewat iklan.
Iklan kecil itu akhirnya terbit di majalah De Hollandsche Lelie edisi 15 Maret 1899. “Raden Ajeng Kartini, putri Bupati Jepara, umur sekian dan seterusnya, ingin berkenalan dengan seorang ‘teman pena wanita’ untuk saling surat-menyurat. Yang dicari ialah seorang gadis dari Belanda yang umurnya sebaya dengan dia dan mempunyai banyak perhatian terhadap zaman modern serta perubahan-perubahan demokrasi yang sedang berkembang di seluruh Eropa,” demikian bunyi iklan itu seperti dikutip Siti-Soemandari Soeroto dalam Kartini: Sebuah Biografi.
Sekali lagi, ada seorang gadis berusia 20 tahun, sekitar 130 tahun lalu, berinisiatif mencari sahabat pena dengan beriklan? Dan sahabat pena yang dicari si gadis adalah sahabat pena yang mau bertukar pikiran tentang perubahan? Apa gerangan yang mendorong Kartini untuk bertukar pikiran secara tertulis? Akhirnya yang dicari Kartini pun muncul. Kartini memanggilnya Stella. Nama lengkapnya Estelle Zeehandelaar, aktivis feminis yang lima tahun lebih tua daripada Kartini. Stella menjawab iklan Kartini dan dimulailah kemudian korespondensi antara keduanya. Krespondensi antara dua gadis berpikiran majudari dua bangsa berbeda yang belum pernah bertemu seumur hidup?
Surat pertama Kartini kepada Stella bertitimangsa 25 Mei1899. “Surat-surat Kartini bernada intim dan menunjukkan dialog yang intens tentang berbagai topik, seperti buku yang dibacanya dan tulisannya di berbagai media. Dia juga membahas tradisi perjodohan, poligami, opium, agama, bahasa Belanda sebagai pembuka pintu pengetahuan, nasib perempuan Jawa yang tertindas, kebijakan politik kolonial yang merugikan pribumi, keinginannya mendirikan sekolah, dan rencananya bersekolah di negeri kelahiran pelukis Rembrandt itu,” papar Tempo.
Apakah dorongan menulis yang ada di dalam diri Kartini memang dikarenakan keinginannya untuk bebas atau ada hal lain? Dikabarkan pula bahwa selain tulisan berupa surat-menyurat itu, Kartini juga menulis sebuah artikel ilmiah. Artikel tersebut berjudul “Het Huwelijk bij de Kodja’s” yang menceritakan upacara perkawinan suku Koja di Jepara. Artikel ini dimuat dalam Bijdragen tot de Taal-Land-en Volkenkundevan Ned-Indie pada 1898. Menurut Didi, artikel ini merupakan karya tulis yang luar biasa. Didi bahkan menyebutnya sebagai karya ilmiah. Dan “Kartini menjadi sangat terkenal karena kefasihannya dan kemahirannya menulis dalam bahasa Belanda,” tulis Tempo.
“Tulisan Kartini yang tajam dan jernih mengguncang Amsterdam ketika diterbitkan pertama kali pada tahun 1911 dalam buku Door Duisternis Tot Licht (HabisGelap Terbitlah Terang) oleh Jacques Henrij Abendanon, direktur di Departemen Pendidikan, Agama, dan Industri Hindia Belanda dan tokoh EthischeKoers (Politik Etis). Buku itu laris dan dicetak berkali-kali. Koran-koran di Hindia Belanda dan Negara Belanda banyak memuat iklan yang menawarkankan buku itu seharga 4,75 gulden,” tambah Tempo.
Sekali lagi, kenapa Kartini suka dan mampu menulis?[]




Sumber : http://jofania.wordpress.com/2013/05/22/2619/






Amazing Kartini

Amazing Kartini!
Oleh Hernowo


kartini1

“Panggil aku Kartini saja, itu namaku. Kami orang Jawa tidak punya nama keluarga. Kartini adalah sekaligus nama keluarga dan nama kecilku.”
—Kartini (surat bertanggal 25 Mei 1899)
Saya sudah membaca beberapa buku tentang Kartini. Pahlawan nasional yang belum lama diperingati hari kelahirannya ini dijadikan tema majalah Tempo edisi 22-28 April 2013. Sungguh, ketika membaca (mencermati dengan saksama) edisi majalah Tempo tentang Kartini, saya merasakan ada yang baru dan berbeda serta—mohon maaf…lebay—menakjubkan. Dengan gesit dan cerdas, Tempo menunjukkan sisi-sisi kontroversial Kartini namun hal itu malah membuat sosok Kartini tampil lebih “hidup” dan digdaya. Pikiran-pikiran Kartini, khususnya, masih mampu menembus sekat-sekat era cyberspace dan relevan dengan zaman yang sudah sangat berbeda dengan zaman ketika Kartini hidup.
Mungkin saja Kartini menjadi demikian karena dia meninggalkan warisan berwujud tulisan. Meskipun tulisan Kartini hanya berupa surat-surat yang dikirimkan kepada sahabat penanya di Belanda, surat-surat tersebut ternyata berhasil (dengan baik dan tertata) merekam pemberontakan, penderitaan, dan keinginan Kartini agar kaumnya maju, mandiri, serta terbebas dari “kerangkeng” buatan manusia. Ada dua hal menarik tentang ini. Hal menarik pertama berasal dari Saparinah Sadli yang, bersama Haryati Soebadio, menulis buku Kartini Pribadi Mandiri. Menurut Tempo, berpijak pada pendapat Saparinah Sadli, “…Kartini istimewa karena kritis dan mengangkat isu sosial. Ini yang membedakannya dengan pahlawan lain.” Lebih tegas lagi ditunjukkan bahwa Kartini berbeda karena “ia meninggalkan tulisan.”
Hal menarik kedua datang dari seorang peneliti Kartini bernama Didi Kwartanada. Didi adalah sejarawan dari Yayasan Nabil, Jakarta. Didi mengaku jatuh cinta kepada Kartini sejak 2008. Di yayasan yang berupaya meneguhkan pluralisme dan multikulturalisme itu, Didi menelaah berbagai literatur yang membahas Kartini. “Kartini adalah prototipe manusia Indonesia baru,” kata Didi. Entah apa yang dimaksud dengan “manusia Indonesia baru”. Mungkin saja, menurut saya, Kartini memang memiliki visi. Pandangannya sangat jauh ke depan dan saya kaget karena itu dimiliki oleh seorang perempuan yang masih muda, mengalami masa “pengerangkengan” (pingitan) pada usia sekitar 12 tahun lebih, dan hidup di tengah cengkeraman alam feodal.
kartini4
“Kartini peka menyongsong masa depan, (sementara) yang lain masih terkukung dan tersandera keadaan,” tambah Aristides Katoppo, editor buku Satu Abad Kartini, sebagaimana dikutip Tempo dalam laporannya yang berjudul, “Dia Minta Dipanggil Kartini Saja”. Ketika saya menemukan kata-kataAristides Katoppo tersebut, saya pun spontan berteriak keras, “Amazing!”, seraya membayangkan sosok sutradara Amazing Spiderman, Marc Webb. Webb berhasil menunjukkan kedigdayaan Peter Parker (Andrew Garfield) bukan bertumpu pada “otot kawat, balung wesi” yang dimiliki Spiderman tetapi malah pada kelembutannya dalam memadu kasih dengan Gwen Stacy (Emma Stone). Adegan percintaan Andrew dan Emma dalam film tersebut, ditangan  Webb, menurut saya amazing!
Demikianlah juga Kartini. Perempuan yang mati muda ini menunjukkan kedigdayaannya bukan pada sosoknya tetapi pikirannya. Di balik sosok yang mungkin rapuh, lemah, dan terpinggirkan ternyata ada semacam kekuatan yang dahsyat. Kekuatan dahsyat itu ditunjukkan oleh Kartini lewat surat-suratnya. Surat-surat itu, yang ditulis dalam bahasa Belanda, saya duga masih akan terus mengguncang (siapa saja yang membacanya) dan bertahan lama….[]
 kartini3


 Sumber : http://jofania.wordpress.com/2013/05/22/2619/