Powered By Blogger
Tampilkan postingan dengan label Puisi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Puisi. Tampilkan semua postingan

Senin, 29 Juli 2013

Kahlil Gibran - Cinta Sang Nabi


Ketika cinta memanggilmu, ikutlah dengannya
Meskipun jalan yang harus kautempuh keras dan terjal
Ketika sayap-sayapnya merengkuhmu, serahkan dirimu padanya
Meskipun pedang-pedang yang ada di balik sayap-sayap itu mungkin akan melukaimu
Dan jika ia berbicara padamu, percayalah
Meskipun suaranya akan membuyarkan mimpi-mimpimu bagaikan angin utara yang memporakporandakan petamanan.
Cinta akan memahkotai dan menyalibmu
Menumbuhkan dan memangkasmu
Mengangkatmu naik, membela ujung-ujung rantingmu yang gemulai dan membawanya ke matahari
Tapi cinta juga akan mencengkeram, menggoyang akar-akarmu hingga tercerabut dari bumi
Bagai seikat gandum ia satukan dirimu dengan dirinya
Menebahmu hingga telanjang
Menggerusmu agar kau terbebas dari kulit luarmu
Menggilasmu untuk memutihkan
Melumatmu hingga kau menjadi liat
Kemudian ia membawamu ke dalam api sucinya, hingga engkau menjadi roti suci perjamuan kudus bagi Tuhan.
Semuanya dilakukan cinta untukmu hingga kau mengetahui rahasia hatimu sendiri, dan dalam pengetahuan itu kau akan menjadi bagian hati kehidupan.
Jangan biarkan rasa takut bersarang, agar kau tak hanya menjadikan cinta tempat mencari senang.
Karena akan lebih baik bagimu untuk segera menutupi ketelanjangan dan berlalu dari lantai penebahan cinta,
Menuju dunia tanpa musim dimana engkau akan puas tertawa, gelak yang bukan tawamu, dan engkau akan menangis, air mata yang bukan tangismu.
Cinta tidak memberi apapun kecuali dirinya sendiri dan tidak meminta apapun selain cinta itu sendiri,
Ia tidak memiliki dan tidak dimiliki
Karena cinta hanya untuk cinta
Ketika engkau mencinta jangan katakan, “Tuhan ada dalam hatiku”; tapi katakan, “Aku ada di hati Tuhan”
Dan jangan berpikir engkau dapat memilih jalan sendiri karena cintalah, jika ia berkenan, yang akan mengarahkan jalanmu.
Cinta tidak pernah berhasrat selain pemenuhan dirinya
Namun jika engkau mencinta dan harus memiliki hasrat, biarlah ini yang menjadi hasratmu :
Melebur diri dan menjadi anak sungai yang mengalir melantunkan nyanyian ke peraduan malam
Mengetahui sakitnya rasa kelembutan
Terluka oleh pemahamanmu sendiri tentang cinta;
Berdarah dengan ikhlas penuh suka cita
Terbangun di saat fajar dengan hati bersayap dan menghaturkan puji syukur untuk hari-hari yang penuh cinta;
Beristirahat di terik siang dan merenungkan puncak-puncak cinta
Pulang di petang hari dengan syukur sepenuh hati

Jumat, 12 Juli 2013

Surat dari Blang Mancung

LK-Ara-bacapuii

Surat dari Blang Mancung

Penyair kelahiran Aceh Tengah, 12 November 1937, LK Ara begitu bersedih melihat kawasan Aceh Tengah dan Bener Meriah dihantam gempa. Ia menulis sejumlah puisi yang diposting di Facebook soal musibah yang merenggut puluhan korban jiwa, ratusan luka-luka, dan ribuan rumah rusak itu. Salah satu “puisi gempa Gayo” karyanya kami kutip di sini.
LK Ara
SURAT DARI BLANG MANCUNG
Inilah lembar basah
Yang digenangi hujan dan air mata
Ditulis dibawah tenda
Karena rumah telah runtuh semua
Mungkin tak terbaca
Karena remuk sebelum tiba
Namun dengan tangan gemetar
Mencoba menyampaikan kabar
Gempa itu menggoncang tiba tiba
Dalam sekejap rumah rata
Dinding mesjid menjepit
Menjemput sejumlah nyawa
Batang tebu rebah
Seperti batang tubuh kami rebah
Tak punya daya
Didera gempa
Susul menyusul
Hingga pagi tiba
Mungkin kami akan tetap disini
Dibawah tenda ini
Merasakan dingin
Dan mendengar guyur hujan
Sebagai nyanyian
Kami akan sabar
Menunggu cahaya
Dia telah berjanji
Akan singgah disini
Banda aceh, 4/7/2013

Sumber : http://infosastra.com/2013/07/surat-dari-blang-mancung/


Selasa, 25 Juni 2013

Sapardi Djoko Damono - Hujan bulan Juni

Sapardi Djoko Damono - Hujan bulan Juni


tak ada yang lebih tabah

dari hujan bulan Juni

dirahasiakannya rintik rindunya

kepada pohon berbunga itu




tak ada yang lebih bijak

dari hujan bulan Juni

dihapusnya jejak-jejak kakinya

yang ragu-ragu di jalan itu


tak ada yang lebih arif

dari hujan bulan Juni

dibiarkannya yang tak terucapkan

diserap akar pohon bunga itu







Minggu, 23 Juni 2013

Gus Mus - Sajak Cinta





cintaku kepadamu belum pernah ada contohnya
cinta romeo kepada juliet si majnun qais kepada laila
belum apa-apa
temu pisah kita lebih bermakna
dibandingkan temu-pisah Yusuf dan Zulaikha
rindu-dendam kita melebihi rindu-dendam Adam
dan Hawa
aku adalah ombak samuderamu
yang lari datang bagimu
hujan yang berkilat dan berguruh mendungmu
aku adalah wangi bungamu
luka berdarah-darah durimu
semilir bagai badai anginmu
aku adalah kicau burungmu
kabut puncak gunungmu
tuah tenungmu
aku adalah titik-titik hurufmu
kata-kata maknamu
aku adalah sinar silau panasmu
dan bayang-bayang hangat mentarimu
bumi pasrah langitmu
aku adalah jasad ruhmu
fayakun kunmu
aku adalah a-k-u
k-a-u
mu
Rembang, 30 September 1995

Jumat, 21 Juni 2013

WS. Rendra - Puisi Pertemuan Mahasiswa



Matahari terbit pagi ini
mencium bau kencing orok di kaki langit,
melihat kali coklat menjalar ke lautan,
dan mendengar dengung lebah di dalam hutan.

Lalu kini ia dua penggalah tingginya.
Dan ia menjadi saksi kita berkumpul di sini memeriksa keadaan.

Kita bertanya :
Kenapa maksud baik tidak selalu berguna.
Kenapa maksud baik dan maksud baik bisa berlaga.
Orang berkata " Kami ada maksud baik "
Dan kita bertanya : " Maksud baik untuk siapa ?"

Ya ! Ada yang jaya, ada yang terhina
Ada yang bersenjata, ada yang terluka.
Ada yang duduk, ada yang diduduki.
Ada yang berlimpah, ada yang terkuras.
Dan kita di sini bertanya :
"Maksud baik saudara untuk siapa ?
Saudara berdiri di pihak yang mana ?"

Kenapa maksud baik dilakukan
tetapi makin banyak petani yang kehilangan tanahnya.
Tanah-tanah di gunung telah dimiliki orang-orang kota.
Perkebunan yang luas
hanya menguntungkan segolongan kecil saja.
Alat-alat kemajuan yang diimpor
tidak cocok untuk petani yang sempit tanahnya.

Tentu kita bertanya : "Lantas maksud baik saudara untuk siapa ?"

Sekarang matahari, semakin tinggi.
Lalu akan bertahta juga di atas puncak kepala.
Dan di dalam udara yang panas kita juga bertanya :
Kita ini dididik untuk memihak yang mana ?
Ilmu-ilmu yang diajarkan di sini
akan menjadi alat pembebasan,
ataukah alat penindasan ?

Sebentar lagi matahari akan tenggelam.
Malam akan tiba. Cicak-cicak berbunyi di tembok.
Dan rembulan akan berlayar.
Tetapi pertanyaan kita tidak akan mereda.
Akan hidup di dalam bermimpi.
Akan tumbuh di kebon belakang.

Dan esok hari matahari akan terbit kembali.
Sementara hari baru menjelma.
Pertanyaan-pertanyaan kita menjadi hutan.
Atau masuk ke sungai menjadi ombak di samodra.

Di bawah matahari ini kita bertanya :
Ada yang menangis, ada yang mendera.
Ada yang habis, ada yang mengikis.
Dan maksud baik kita berdiri di pihak yang mana !


Jakarta 1 Desember 1977
Potret Pembangunan dalam Puisi


(Sajak ini dipersembahkan kepada para mahasiswa Universitas Indonesia di Jakarta, dan dibacakan di dalam salah satu adegan film “Yang Muda Yang Bercinta”, yang disutradarai oleh Sumandjaja)










Sapardi Joko Damono-Dalam Doaku

Dalam Doaku


Dalam doaku subuh ini kau menjelma langit yang
semalaman tak memejamkan mata, yang meluas bening
siap menerima cahaya pertama, yang melengkung hening
karena akan menerima suara-suara
Ketika matahari mengambang tenang di atas kepala,
dalam doaku kau menjelma pucuk-pucuk cemara yang
hijau senantiasa, yang tak henti-hentinya
mengajukan pertanyaan muskil kepada angin
yang mendesau entah dari mana
Dalam doaku sore ini kau menjelma seekor burung
gereja yang mengibas-ibaskan bulunya dalam gerimis,
yang hinggap di ranting dan menggugurkan bulu-bulu
bunga jambu, yang tiba-tiba gelisah dan
terbang lalu hinggap di dahan mangga itu
Maghrib ini dalam doaku kau menjelma angin yang
turun sangat perlahan dari nun di sana, bersijingkat
di jalan dan menyentuh-nyentuhkan pipi dan bibirnya
di rambut, dahi, dan bulu-bulu mataku
Dalam doa malamku kau menjelma denyut jantungku,
yang dengan sabar bersitahan terhadap rasa sakit
yang entah batasnya, yang setia mengusut rahasia
demi rahasia, yang tak putus-putusnya bernyanyi
bagi kehidupanku
Aku mencintaimu.
Itu sebabnya aku takkan pernah selesai mendoakan
keselamatanmu
(Sapardi Joko Damono, 1989, kumpulan sajak

“Hujan Bulan Juni”)








Kamis, 20 Juni 2013

Sutardji Calzoum Bachri - KUCING

Sutardji Calzoum Bachri - KUCING




Ngiau! Kucing dalam darah dia menderas
lewat dia mengalir ngilu ngiau dia bergegas lewat dalam aortaku dalam rimba
darahku dia besar dia bukan harimau bukan singa bukan hiena bukan leopar
dia macam kucing bukan kucing tapi kucing
ngiau dia lapar dia merambah rimba afrikaku dengan cakarnya dengan amuknya
dia meraung dia mengerang jangan beri
daging dia tak mau daging Jesus jangan
beri roti dia tak mau roti ngiau kucing meronta dalam darahku meraung
merambah barah darahku dia lapar 0 alangkah lapar ngiau berapa juta hari
dia tak makan berapa ribu waktu dia
tak kenyang berapa juta lapar lapar kucingku berapa abad dia mencari mencakar menunggu tuhan mencipta kucingku
tanpa mauku dan sekarang dia meraung
mencariMu dia lapar jangan beri daging jangan beri nasi tuhan menciptanya tanpa setahuku dan kini dia minta
tuhan sejemput saja untuk tenang sehari untuk kenyang sewaktu untuk tenang..



Puisi, 1995


















Gus Mus - Tadarus

Gus Mus - Tadarus 


Bismillahirrahmanirrahim
Brenti mengalir darahku menyimak firmanMu

Idzaa zulzilatil-ardlu zilzaalahaa
Wa akhrajatil-ardlu atsqaalahaa
Waqaalal-insaanu maa lahaa
(ketika bumi diguncang dengan dasyatnya
Dan bumi memuntahkan isi perutnya
Dan manusia bertanya-tanya: Bumi itu kenapa?

Yaumaidzin tuhadditsu akhbaarahaa
Bianna Rabbaka auhaa lahaa
Yaumaidzin yashdurun-naasu asytaatan
Liyurau a’maalahum
(Ketika itu bumi mengisahkan kisah-kisahnya
Karena Tuhanmu mengilhaminya
Ketika itu manusia tumpah terpisah-pisah
‘Tuk diperlihatkan perbuatan-perbuatan mereka)

Faman ya’mal mitsqaala dzarratin khairan yarah
Waman ya’mal mitsqaala dzarratin syarran yarah
(Maka siapa yang berbuat sezarrah kebaikan pun akan melihatnya
Dan siapa yang berbuat sezarrah kejahatan pun akan melihatnya)

Ya Tuhan, akukah insane yang bertanya-tanya
Ataukah aku mukmin yang sudah tahu jawabnya?
Kulihat tetes diriku dalam muntahan isi bumi

Aduhai, akan kemanakah kiranya bergulir?
Diantara tumpukan maksiat yang kutimbun saat demi saat
Akankah kulihat sezarrah saja
Kebaikan yang pernah kubuat?

Nafasku memburu diburu firmanMu

Dengan asma Allah Yang Pengasih Penyayang
Wa’aadiyaati dlabhan
Falmuuriyaati qadhan
Fa-atsarna bihi naq’an
Fawasathna bihi jam’an
(Demi yang sama terpacu berdengkusan
Yang sama mencetuskan api berdenyaran
Yang pagi-pagi melancarkan serbuan
Menerbangkan debu berhamburan
Dan menembusnya ke tengah-tengah pasukan lawan)

Innal-insana liRabbihi lakanuud
Wainnahu ‘alaa dzaalika lasyahied
Wainnahu lihubbil-khairi lasyadied
(Sungguh manusia itu kepada Tuhannya Sangat tidak tahu berterima kasih
Sunggunh manusia itu sendiri tentang itu menjadi saksi
Dan sungguh manusia itu sayangnya kepada harta
Luar biasa)

Afalaa ya’lamu idza bu’tsira maa fil-qubur
Wahushshila maa fis-shuduur
Inna Rabbahum bihim yaumaidzin lakhabier
(Tidakkah manusia itu tahu saat isi kubur dihamburkan
Saat ini dada ditumpahkan?
Sungguh Tuhan mereka
Terhadap mereka saat itu tahu belaka!)

Ya Tuhan,
kemana gerangan butir debu ini ‘kan menghambur?
Adakah secercah syukur menempel
Ketika isi dada dimuntahkan
Ketika semua kesayangan dan andalan entah kemana?

Meremang bulu romaku diguncang firmanMu

Bismillahirrahmaanirrahim
Al-Quaari’atu
Mal-qaari’ah
Wamaa adraaka mal-qaari’ah
(Penggetar hati
Apakah penggetar hati itu?
Tahu kau apa itu penggetar hati?)

Resah sukmaku dirasuk firmanMu

Yauma yakuunun-naasu kal-faraasyil-mabtsuts
Watakuunul-jibaalu kal’ihnil-manfusy
(Itulah hari manusia bagaikan belalang bertebaran
dan gunung-gunung bagaikan bulu dihambur-terbangkan)

Menggigil ruas-ruas tulangku dalam firmanMu

Waammaa man tsaqulat mawaazienuhu
Fahuwa fii ‘iesyatir-raadliyah
Waammaa man khaffat mawaazienuhu faummuhu haawiyah
Wamaa adraaka maa hiyah Naarun haamiyah
(Nah barangsiapa berbobot timbangan amalnya
Ia akan berada dalam kehidupan memuaskan
Dan barangsiapa enteng timbangan amalnya
Tempat tinggalnya di Hawiyah
Tahu kau apa itu?
Api yang sangat panas membakar!)

Ya Tuhan
kemanakah gerangan belalang malang ini ‘kan terkapar?
Gunung amal yang dibanggakan
Jadikah selembar bulu saja memberati timbangan
Atau gunung-gunung dosa akan melumatnya
Bagi persembahan lidah Hawiyah?

Ataukah,
o, kalau saja maharahmatMu
Akan menerbangkannya ke lautan ampunan

Shadaqallahul’ Adhiem

Telah selesai ayat-ayat dibaca
Telah sirna gema-gema sari tilawahnya
Marilah kita ikuti acara selanjutnya
Masih banyak urusan dunia yang belum selesai
Masih banyak kepentingan yang belum tercapai
Masih banyak keinginan yang belum tergapai
Marilah kembali berlupa
Insya Allah Kiamat masih lama.
Amien.








Gus Mus - Kau Ini Bagaimana Atau Aku Harus Bagaimana

Gus Mus - Kau Ini Bagaimana Atau Aku Harus Bagaimana


Kau ini bagaimana?
Atawa aku aku harus bagaimana?
Kau ini bagaimana?
Kau bilang aku merdeka
Kau memilikan untuku segalanya
Kau suruh aku berfikir, aku berfikir
Kau tuduh aku kafir

Aku harus bagaimana?
Kau bilang bergeraklah, aku bergerak
Kau curigai

Kau bilang jangan banyak tingkah, aku diam saja
Kau waspadai

Kau ini bagaimana?
Kau suruh aku memegang prinsif, aku memegang prinsif
Kau tuduh aku kaku
Kau suruh aku toleran, aku toleran
Kau bilang aku plinplan

Aku harus bagaimana?
Aku, kau suruh maju, aku mau maju
Kau serimpung kaki ku
Kau suruh aku bekerja, aku bekerja
Kau ganggu aku

Kau ini bagaimana?
Kau suruh aku taqwa
Khutbah ke-agamaanmu membuatku sakit jiwa
Kau suruh aku mengikutimu
Langkahmu tak jelas arahnya

Aku harus bagaimana?.
Aku kau suruh menghormati hokum
Kebijaksanaan mu menyepelekannya
Aku kau suruh berdisiplin
Kau menyontohkan yang lain

Kau ini bagaimana?
Kau bilang tuhan sangat dekat
Kau sendiri memangil-manggilnya dengan pengeras suara setiap saat
Kau bialang kau suka damai
Kau ajak setip hari bertikai

Aku harus bagaimana?
Aku kau suruh membangun, aku membangun
Kau merusakannya
Aku kau suruh menabung, aku menabung
Kau menghabiskannya
Kau ini bagaimana?
Kau suruh aku menggarap sawah
Sawahku kau Tanami rumah-rumah
Kau bilang aku harus punya rumah, aku punya rumah
Kau meratakannya dengan tanah

Aku harus bagaiman?
Aku kau larang berjudi
Permainan spekulasi mu menjadi-jadi
Aku kau suruh bertanggung jawab
Kau sendiri terus berucap WALLAHU A’ALAM BISHAWAB

Kau ini bagiamana?
Aku kau suruh aku jujur, aku jujur
Kau tipu aku

Kau suruh aku sabar, aku sabar
kau injak tengkuk ku

Aku harus bagaimana?
Aku kau suruh memilihmu sebagai wakil ku, setelah ku pilih
Kau bertindak semaumu
Kau bilang selalu memikirkan ku
Aku sama saja tak merasa terganggu
Kau bilang bicaralah, aku bicara
Kau bilang aku ceriwis
Kau bilang jangan banyak bicara, aku bungkam
Kau tuduh aku apatis

Aku harus bagaimana?
Kau bilang kritiklah, aku keritik
Kau marah
Kau bilang carikan alternatifnya, aku kasih alternatif
Kau bilang jangan mendikte saja

Kau ini bagaimana?
Aku bilang terserah kau
Kau tidak mau
Aku bilang terserah kita
Kau tak suka
Aku bilang terserah aku
Kau memakiku
Kau ini bagaimana
Atau aku yang harus bagaimana.

GUS MUS

1987









Minggu, 16 Juni 2013

Emha Ainun Najib - Akan Ke Manakah Angin





Akan Ke Manakah Angin
Oleh : Emha Ainun Nadjib




Akan ke manakah angin melayang
Tatkala turun senja yang muram
Kepada siapa lagu kuangankan
Kelam dalam kalbu rindu tertahan

Datanglah engkau berbaring di sisiku
Turun dan berbisik dekat di batinku
Kuingin menjerit dalam pelukanmu

Sampai di manakah berarak awan
Bagi siapa mata kupejamkan
Pecah bulan dalam ombak lautan
Dahan-dahan di hati bergetaran







lagu digubah oleh Mimi Larasati.
Dinyanyikan oleh Reda Gaudiamo dan Nana Soebijakto.
Aransir oleh Ari Malibu


Kamis, 13 Juni 2013

dr. Siti Nur Jannah : Hujan Berwarna Biru



Hujan Berwarna Biru

Oleh : dr. Siti Nur Jannah

Kutitipkan salamku siang itu,
melalui hujan yang ditumpahkan dari awan kelabu
Jauh di ujung cakrawala,
langit tak seluruhnya sendu
Matahari masih menyisakan sinarnya,
menggoda hati dengan kehangatannya
Berbaur dengan dinginnya air hujan,
yang terasa menusuk, saat menyentuh wajahku
Angin serasa mati, malu meniup
Membiarkan dedaunan yang tak mau membisu
Berisik berbisik bersama hujan yang berwarna biru
Dimana kutitipkan diriku
Kuterobos hujan siang hari itu,
membiarkan airnya membasahi hatiku
Menumbuhkan kembali benih rasa yang indah,
diantara jari-jari kakiku
Yang telanjang, bermesraan dengan akar ilalang
Kukembangkan tanganku,
kutangkap hujan itu, kusimpan dalam erat genggamanku
Tak mau kehilangan lagi, hujanku yang berwarna biru,
Yang dingin dan hangat berbaur jadi satu,
memberi warna pelangi di hidupku
Bersat aku dalam rasa yang tak dapat kutahan
Saat kuhentakkan kaki dalam kumpulan air yang bertakung rindu
Memercik buncah mengandung hati, dalam golakan tak dimengerti
Dalam hujanku yang berwarna biru,
ada senyumku, yang akan selalu ada untukmu
Dalam hujan yang berwarna biru, kutitipkan salamku untukmu

Awal Oktober 2010






































WS Rendra - Tuhan, aku cinta padamu

WS Rendra



Aku lemas
Tapi berdaya
Aku tidak sambat rasa sakit
atau gatal
Aku pengin makan tajin
Aku tidak pernah sesak nafas
Tapi tubuhku tidak memuaskan
untuk punya posisi yang ideal dan wajar
Aku pengin membersihkan tubuhku
dari racun kimiawi
Aku ingin kembali pada jalan alam
Aku ingin meningkatkan pengabdian
kepada Allah
Tuhan, aku cinta padamu.

Sajak ini ditulis oleh WS. Rendra, 31 Juli 2009, di rumah sakit
















WS Rendra - Sajak seorang tua untuk istrinya

WS Rendra


Aku tulis sajak ini
untuk menghibur hatimu
Sementara kau kenangkan encokmu
kenangkanlah pula masa remaja kita yang gemilang
Dan juga masa depan kita
yang hampir rampung
dan dengan lega akan kita lunaskan.
Kita tidaklah sendiri
dan terasing dengan nasib kita
Kerna soalnya adalah hukum sejarah kehidupan.
Suka duka kita bukanlah istimewa
kerna setiap orang mengalaminya.
Hidup tidaklah untuk mengeluh dan mengaduh
Hidup adalah untuk mengolah hidup
bekerja membalik tanah
memasuki rahasia langit dan samodra,
serta mencipta dan mengukir dunia.
Kita menyandang tugas,
kerna tugas adalah tugas.
Bukannya demi sorga atau neraka.
Tetapi demi kehormatan seorang manusia.
Kerna sesungguhnyalah kita bukan debu
meski kita telah reyot, tua renta dan kelabu.
Kita adalah kepribadian
dan harga kita adalah kehormatan kita.
Tolehlah lagi ke belakang
ke masa silam yang tak seorangpun kuasa menghapusnya.
Lihatlah betapa tahun-tahun kita penuh warna.
Sembilan puluh tahun yang dibelai napas kita.
Sembilan puluh tahun yang selalu bangkit
melewatkan tahun-tahun lama yang porak poranda.
Dan kenangkanlah pula
bagaimana kita dahulu tersenyum senantiasa
menghadapi langit dan bumi, dan juga nasib kita.
Kita tersenyum bukanlah kerna bersandiwara.
Bukan kerna senyuman adalah suatu kedok.
Tetapi kerna senyuman adalah suatu sikap.
Sikap kita untuk Tuhan, manusia sesama,
nasib, dan kehidupan.
Lihatlah! Sembilan puluh tahun penuh warna
Kenangkanlah bahwa kita telah selalu menolak menjadi koma.
Kita menjadi goyah dan bongkok
kerna usia nampaknya lebih kuat dari kita
tetapi bukan kerna kita telah terkalahkan.
Aku tulis sajak ini
untuk menghibur hatimu
Sementara kaukenangkan encokmu
kenangkanlah pula
bahwa kita ditantang seratus dewa.

WS. Rendra, Sajak-sajak sepatu tua, 1972