(Kumpulan Cerpen Kompas)
Penulis : Yanusa Nugroho

MASJID itu hanyalah sebuah
bangunan kecil saja. Namun, jika kau
memperhatikan, kau akan segera tahu usia bangunan itu sudah sangat tua. Temboknya
tebal, jendelanya tak berdaun—hanya lubang segi empat dengan lengkungan di
bagian atasnya. Begitu juga pintunya, tak berdaun pintu. Lantainya menggunakan
keramik putih—kuduga itu baru kemudian dipasang, karena modelnya masih bisa
dijumpai di toko-toko material.
Masjid itu kecil saja, mungkin hanya bisa menampung sekitar 50 orang
berjemaah.
Namun, halaman masjid itu cukup luas. Dan di hadapan bangunan masjid itu
tumbuh pohon trembesi yang cukup besar. Mungkin saja usianya sudah ratusan
tahun. Mungkin saja si pembangun masjid ini dulunya berangan-angan betapa
sejuknya masjid ini di siang hari karena dinaungi pohon trembesi. Mungkin saja
begitu.
Begitu besarnya pohon trembesi itu, dengan dahan dan cabangnya yang
menjulur ke segala arah, membentuk semacam payung, membuat kita pun akan
berpikir, masjid ini memang dipayungi trembesi. Cantik sekali.
Namun, masjid ini sepi. Terutama jika siang hari. Subuh ada lima orang
berjemaah, itu pun pengurus semua. Maghrib, masih lumayan, bisa mencapai dua
saf. Isya… hanya paling banyak lima orang. Begitu setiap hari, entah sejak
kapan dan akan sampai kapan hal itu berlangsung.
Bagi Haji Brahim, keadaan itu merisaukannya. Sejak, mungkin, 30 tahun lalu
dia dipercaya untuk menjadi ketua masjid, keadaan tidak berubah. Bahkan, setiap
Jumat, jumlah jemaah, paling banyak 45 orang. Pernah terpikirkan untuk
memperluas bangunan, tetapi dana tak pernah cukup. Mencari sumbangan tidak
mudah, dan Haji Brahim tak mengizinkan pengurus mencari sumbangan di jalan
raya—sebagaimana dilakukan banyak orang. “Seperti pengemis saja…,” gumamnya.
Seiring dengan berjalannya waktu, maka pikiran untuk memperluas bangunan itu
tinggal sebagai impian saja. Kas masjid nyaris berdebu karena kosong melompong.
Dan itu pula sebabnya masjid itu tak bisa memasang listrik, cukup dengan lampu
minyak.
Daun-daun trembesi berguguran setiap hari, seperti taburan bunga para peziarah
makam. Buah-buahnya yang tua berserakan di halaman. Satu-dua anak memungutnya,
mengeluarkan biji-bijinya yang lebih kecil daripada kedelai itu, menjemurnya,
menyangrai, dan menjadikannya camilan gurih di sore hari. Jelas tak ada orang
yang secara khusus menyapu halaman setiap hari.
Terlalu luas untuk sebuah pekerjaan gratisan. Semua maklum, termasuk Haji
Brahim.
***
Suatu siang, seusai shalat Jumat, ketika orang-orang sudah lenyap semua
entah ke mana, Haji Brahim dan dua pengurus lainnya masih duduk bersila di
lantai masjid. Haji Brahim masih berzikir sementara dua orang itu tengah
menghitung uang amal yang masuk hari itu.
“Tiga puluh ribu, Pak,” ucap salah seorang seperti protes pada entah apa.
“Alhamdulilah.”
“Dengan yang minggu lalu, jumlahnya 75.000. Belum cukup untuk beli
cat tembok.”
“Ya, sudah… nanti kan cukup,” ujar Haji
Brahim tenang.
Sesaat ketika kedua orang itu
akan berdiri, di halaman dilihatnya ada seorang nenek tua tengah menyapu
pandang. Haji Brahim pun menoleh dan
dilihatnya nenek itu dengan badan bungkuk, tertatih mendekat.
“Alaikum salam…, Nek,” jawab salah seorang pengurus, sambil mengangsurkan
uang 500-an.
Tapi si nenek diam saja. Memandangi si pemberi uang dengan pandangannya
yang tua.
“Ada apa?” tanya Haji Brahim, seraya mendekat.
“Saya tidak perlu uang. Saya perlu jalan ampunan.”
Sesaat ketiga pengurus masjid itu terdiam. Angin bertiup merontokkan
dedaunan trembesi. Satu dua buahnya gemelatak di atap.
“Silakan nenek ambil wudu dan shalat,” ujar Haji Brahim sambil tersenyum.
Nenek itu diam beberapa saat. Tanpa berkata apa pun, dia kemudian memungut
daun yang tergeletak di halaman. Daun itu dipungutnya dengan kesungguhan, lalu
dimasukkannya ke kantong plastik lusuh, yang tadi dilipat dan diselipkan di
setagen yang melilit pinggangnya. Setelah memasukkan daun itu ke kantong
plastik, tangannya kembali memungut daun berikutnya. Dan berikutnya. Dan
berikutnya….
Ketiga orang itu ternganga. Sesaat kemudian, karena melihat betapa susah
payahnya si nenek melakukan pekerjaan sederhana itu, salah seorang kemudian
mendekat dan membujuk agar si nenek berhenti. Tapi si nenek tetap saja
memunguti daun-daun yang berserakan, nyaris menimbun permukaan halaman itu.
Haji Brahim dan seorang pengurus kemudian ikut turun dan mengambil sapu
lidi.
“Jangan… jangan pakai sapu lidi… dan biarkan saya sendiri melakukan ini.”
“Tapi nanti nenek lelah.”
“Adakah yang lebih melelahkan daripada menanggung dosa?” ujar si nenek
seperti bergumam.
Haji Brahim tercekat. Ada sesuatu yang menyelinap di sanubarinya.
Dilihatnya si nenek kembali memungut dan memungut daun-daun itu helai demi
helai. Dan, demi mendengar apa yang tergumam dari bibir tua itu, Haji Brahim
menangis.
Dari bibirnya tergumam kalimat permintaan ampun dan sanjungan kepada
Kanjeng Nabi Muhammad. Pada setiap helai yang dipungut dan ditatapnya sesaat
dia menggumamkan, “Gusti, mugi paringa aksama. Paringa kanugrahan dateng
Kanjeng Nabi.” Sebelum dimasukkannya ke kantong plastik.
Haji Brahim tergetar oleh kepolosan dan keluguan si nenek. Di matanya, si
nenek seperti ingin bersaksi di hadapan ribuan dedaunan bahwa dirinya sedang
mencari jalan pengampunan.
***
Hari bergulir ke Magrib. Dan si nenek masih saja di tempat semula, nyaris
tak beranjak, memunguti dedaunan yang selalu saja berguguran di halaman. Tubuh
tuanya yang kusut basah oleh keringat. Napasnya terengah-engah. Ketiga orang
itu tak bisa berbuat lain, kecuali menjaganya. Ketika maghrib tiba, dan
orang-orang melakukan sembahyang, si nenek masih saja memunguti dedaunan.
“Siapa dia?” bisik salah seorang jemaah kepada temannya, ketika mereka
meninggalkan masjid. Tentu saja tak ada jawaban, selain “entah”.
“Nek, istirahatlah… ini sudah malam.”
“Kalau bapak mau pulang, silakan saja… biarkan saya di sini dan melakukan
ini semua.”
“Nek, mengapa nenek menyiksa diri seperti ini?”
“Tidak. Saya tidak menyiksa diri. Ini… mungkin bahkan belum cukup untuk
sebuah ampunan,” ucapnya sambil menghapus air matanya.
Haji Brahim terdiam. Mencoba mereka-reka apa yang telah diperbuat si nenek
di masa lalunya.
***
Malam itu, Haji Brahim pulang cukup larut karena merasa tak tega
meninggalkan si nenek. Pengurus masjid yang semula akan menunggui, sepulang
Haji Brahim, ternyata juga tak tahan. Bahkan, belum lagi lima menit Haji Brahim
pergi, dia diam-diam pulang.
Tak ada yang tahu apakah si nenek tertidur atau terjaga malam itu. Begitu
subuh tiba, Mijo yang akan azan Subuh mendapati si nenek masih saja melakukan
gerakan yang sama. Udara begitu dingin. Beberapa kali si nenek terbatuk.
***
Peristiwa si nenek itu ternyata mengundang perhatian banyak orang. Mereka
berdatangan ke masjid. Niat mereka mungkin ingin menyaksikan si nenek, tetapi
begitu bertepatan waktu shalat masuk, mereka melakukan shalat berjemaah. Tanpa
mereka sadari sepenuhnya, masjid itu jadi semarak. Orang datang berduyun-duyun,
membawa makanan untuk si nenek, atau sekadar memberinya minum. Dan, semuanya
selalu berjemaah di masjid.
Dua hari kemudian, tepat ketika kumandang waktu Ashar terdengar, si nenek
tersungkur dan meninggal. Orang-orang terpekik, ada yang mencoba membawanya ke
puskesmas, tetapi entah mengapa tak jadi.
Hari itu juga polisi datang. Karena semua orang tak tahu siapa keluarga si
nenek, akhirnya diputuskan si nenek dimakamkan di halaman belakang masjid.
Ketika semua orang sibuk, Haji Brahim tercekat. Dia tiba-tiba merasa sunyi
menyergapnya. Dia menyapu pandang, ada yang aneh di matanya. Dedaunan yang
berserak itu lenyap. Halaman masjid bersih. Menghitam subur tanahnya, seperti
disapu, dan daun yang gugur ditahan oleh jaring raksasa hingga tak mencapai
tanah.
Sudut mata Haji Brahim membasah. “Semoga kau temukan jalanmu, Nek,”
gumamnya.
Dan ketika semua orang, yang puluhan jumlahnya itu, secara bersamaan
menemukan apa yang dipandang Haji Brahim, mereka ternganga. Bagaimana mungkin
halaman masjid bisa sebersih seperti itu.
***
Lama setelah kisah itu sampai kepadaku, aku tercenung. Rupanya, menurut
Haji Brahim kepadaku, nenek itu hadir mungkin sebagai contoh. “Mungkin juga dia
memang berdosa besar—sesuai pengakuannya kepada saya,” ucap Haji Brahim
kepadaku beberapa waktu lalu. “Dan… dia melakukan semacam istighfar dengan
mengumpulkan sebanyak mungkin daun yang ada di halaman, mungkin begitu… saya
tak yakin. Yang jelas, mata kami jadi terbuka. Sekarang masjid kami cukup
ramai.”
“Pasti banyak yang mau menyapu halaman,” godaku.
“Iya… ha-ha-ha… benar.”
“Memangnya bisa begitu, Ji?”
“Maksudnya, ampunan Allah? Ya, saya yakin bisa saja. Allah
maha-berkehendak, apa pun jika Dia berkenan, masak tidak dikabulkan?” ucap Haji
Brahim tenang.
Aku terdiam. Kubayangkan dedaunan itu, yang jumlahnya mungkin ribuan helai
itu, melayang ke hadirat Allah, membawa goresan permohonan ampun. (*) - Kompas, 2 Oktober 2011
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar