Powered By Blogger

Minggu, 06 April 2014

Dongeng Siapa Aku

Dongeng tentang Siapa Aku: “Pendongeng” Hebat Itu Bernama Agustinus Wibowo (4) 

Oleh Hernowo 




“Aku bermain dengan dualisme identitas. Aku bukan si orang Indonosia berpeci, melainkan mahasiswa asal provinsi Guangdong. Untuk penyamaran ini, aku sungguh harus berterima kasih atas wajah Mongoloid warisan nenek moyang.”
Agustinus Wibowo, Titik Nol, h. 30

Begitu selesai mencicipi buku Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan, aku teringat kata-kata Kang Jalal yang sering aku kutip ketika aku sedang mendongeng (baca: menulis) atau membaca tentang dongeng yang disampaikan oleh pendongeng modern seperti Dan Brown ataupun J.K. Rowling. Kata-kata Kang Jalal sendiri aku abadikan di dalam buku “dongeng”-ku—meskipun aku tidak piawai mendongeng—yang berjudul Aku Ingin Bunuh Harry Potter!

Bagi yang belum pernah mendengar kata-kata Kang Jalal yang sering aku kutip, berikut ini adalah kata-kata itu: “Cerita, kisah, atau dongeng secara ilmiah disebut narrative. Manusia adalah makhluk yang suka bercerita dan membangun hidupnya berdasarkan cerita yang dipercayainya. Kita cenderung menerima cerita dan menyampaikannya dalam bentuk cerita pula. Tanpa cerita, hidup kita akan karut-marut. Dengan cerita, kita mampu menyusun dan menghimpun pernak-pernik kehidupan yang berserakan. Narrative, seperti pernah diucapkan oleh Dilthey seorang filsuf Jerman, adalah pengorganisasian hidup (Zusammenhang des Lebens).”


Mantra—kalau boleh kata-kata Kang Jalal itu disebut mantra—yang suka aku kutip ketika aku bercerita (menulis) adalah “Tanpa cerita, hidup kita akan karut-marut. Dengan cerita, kita mampu menyusun dan menghimpun pernak-pernik kehidupan yang berserakan.Narrative, seperti pernah diucapkan oleh Dilthey seorang filsuf Jerman, adalah pengorganisasian hidup (Zusammenhang des Lebens).” Aku suka menulis dan membiasakan sesering mungkin menulis (bercerita) dengan tujuan-utama agar aku dapat terus mempraktikkan “Zusammenhang des Lebens”. Keren ‘kan?

Nah, ketika aku membaca Titik Nol aku bertemu dengan seseorang yang tak sekadar suka bercerita atau mendongeng tetapi dia piawai sekali mendongeng. Kata-kata ciptaannya berubah menjadi “sihir” yang memaksaku untuk terus membaca dongengannya. Aku terpesona. Padahal yang didongengkan adalah kisah tentang sebuah perjalanan. Dan sudah banyak travel writer yang menulis sebagaimana dia menulis. Hanya, entah kenapa, ada hal yang tidak biasa dalam setiap ceritanya.

Aku sesungguhnya terlambat membaca Titik Nol. Ketika aku mulai mencicipi Titik NolAgustinus sudah menerbitkan dua buku dongengnya yang lain—Selimut Debu dan Garis Batas. Itu kuketahui dari halaman terakhir Titik Nol yang kubeli. Dua buku tambahannya itu diiklankan di Titik Nol. Dan yang mengagumkan, buku dongengannya termasuk buku yang tebal. Titik Nol dan Garis Batas 500 halaman lebih sedangkan Selimut Debu hampir mencapai 500 halaman. Luar biasa!

Aku diberitahu kalau Titik Nol merupakan buku yang sangat mengasyikkan untuk dibaca baru minggu lalu. Dua sahabatku, suami-istri, bertamu ke rumah. Kedua sahabatku ini bercerita dengan menarik tentang karya-karyaAgustinus Wibowo. Aku terkesima. Tampak bahwa si penulis tidak sekadar bertindak sebagai travel writer. Ada upaya serius dari si penulis untuk menangkap makna yang ada di balik kisah tentang tempat-tempat yang dikunjunginya. Dan ketika aku mencicipi sendiri tulisannya, Wow!, ada banyak hal baru dan mengesankan yang kuperoleh….[]






“Dari kursi plastik putih di samping ranjang, sembari mengipasi tubuh Mama yang terbaring miring, sayup-sayup kumulai ceritaku tentang negeri nirwana.”
Agustinus Wibowo, Titik Nol, h. 45

Aku dibawa oleh buku Titik Nol ke Gunung Dewa. Orang Cina menyebutnya Shenshan. Orang Buddha Tibet menyebutnya Kang Rinpoche (Mustika Agung dari Tanah Salju), tempat bertakhtanya Buddha Sakyamuni. Bagi umat Hindu, di sinilah singgasana Sang Dewa Syiwa bersama istrinya, Parwati, putri dewa Pegunungan Himalaya. Nama lain yang umum adalah Kailash.

Agustinus Wibowo mengisahkan kunjungannya ke Gunung Suci Kailash begitu menyentuh. Dia berhasil membawa suasana Gunung Suci itu dalam jarak yang sangat dekat kepada para pembacanya—khususnya kepadaku. Rasa-rasanya, aku sudah pernah tiba di sana dan merasakan suasananya. Apalagi Titik Nol menyertakan beberapa gambar yang indah dan bermakna. Aku yakin gambar berupa foto itu dipilih secara saksama dan cermat serta disusun untuk keperluan memperkuat detail kisah.


Coba dengarkan dongengannya yang menarik ini: “Nirwana ini dingin. Nirwana ini tinggi di awang-awang. Nirwana ini sunyi, tersembunyi, mematikan. Di Atap Dunia, langit biru menangkup, lembah-lembah hijau menghias di tengah kepungan gunung-gunung yang berwujud barisan kurva bulat ditudungi salju. Sungai jernih bergemericik membelah padang” (halaman 45).

Menurut Agustinus—yang bercerita dengan detail-detail yang sungguh mempesona—Gunung suci Kailash bagaikan sebuah piramida raksasa. Bentuknya nyaris kerucut sempurna. Menyembul dari balutan selimut awan. Ia menjulang di tengah barisan bukit gersang. Gunung itu serasa jadi primadona karena rupanya yang istimewa. Kesan magis dimiliki gunung itu gara-gara puncaknya ditudungi salju tebal laksana mahkota.

Bagaimana Agustinus dapat berkisah seperti itu? Aku membaca pengakuannya bahwa dia punya buku kumal yang senantiasa dibawa di setiap perjalanannya—untuk mencatat (bahasaku: “mengikat”) hal-hal penting dan berharga. Aku yakin pula bahwa dia juga gemar membaca. Kegemaran membacanya telah memperkaya dirinya dengan banyak kata—ini sangat perlu agar diksinya menjadi lebih bertenaga. Perjalanannya juga tak sekadar perjalanan fisik. Aku merasakan sekali bahwa perjalanannya merupakan perjalanan batin.[]


Menangkal Dan Mengobati Pengaruh Sihir Dalam Islam

Para ulama menjelaskan bahwa  sihir itu termasuk jenis penyakit yang bisa menimpa manusia dengan izin Allah Azza wa Jalla . Tidaklah Allah menurunkan satu penyakit melainkan Dia juga menurunkan obat penawarnya. Dan seorang muslim dilarang berobat dengan sesuatu yang diharamkan Allah.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, Beliau bersabda :
مَا أنْزَلَ اللهُ دَاءً إلا أنْزَلَ لَهُ شِفَاءً

"Tidaklah Allah menurunkan suatu penyakit, melainkan Allah akan menurunkan pula obat penawarnya".
Seorang muslim dilarang pergi ke dukun untuk mengobati sihir dengan sihir yang sejenis. Karena hukum mendatangi dukun dan mempercayai mereka adalah kufur. Apatah lagi sampai meminta mereka untuk melakukan sihir demi mengusir sihir yang menimpanya, ataupun untuk menanyakan hal-hal yang berkaitan dengan jodoh anak dan sanak saudaranya, atau hubungan suami istri dan keluarga, tentang barang yang hilang, percintaan, perselisihan dan sebagainya. Hal itu merupakan perkara ghaib dan hanya Allah Azza wa Jalla saja yang mengetahui. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ أتَى كَاهِنًا أوْ سَاحِرًا فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُوْلُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَدٍ

"Barangsiapa yang mendatangi dukun atau tukang sihir, kemudian ia membenarkan (mempercayai) perkataan mereka, maka sungguh ia telah kafir terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad".
Para dukun, paranormal, tukang sihir dan peramal itu hanya mengaku-ngaku mengetahui ilmu ghaib berdasarkan kabar yang dibawa setan yang mencuri dengar dari langit. Para dukun itu, tidak akan sampai pada maksud yang diinginkan kecuali dengan cara berkhidmah, tunduk dan taat serta menyembah tentara iblis tersebut. Ini merupakan perbuatan kufur dan syirik terhadap Allah Subhanahu wa Ta'ala. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

هَلْ أُنَبِّئُكُمْ عَلَى مَن تَنَزَّلُ الشَّيَاطِينُ {212} تَنَزَّلُ عَلَى كُلِّ أَفَّاكٍ أَثِيمٍ { 222} يُلْقُونَ السَّمْعَ وَأَكْثَرُهُمْ كَاذِبُونَ

"Apakah akan Aku beritakan kepadamu, kepada siapa setan-setan itu turun? Mereka turun kepada setiap pendusta lagi banyak dosa, mereka menghadapkan pendengaran (kepada setan) itu, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang pendusta". [Asy Syu’ara`: 221-223].
Oleh karena itu, seorang muslim tidak boleh tunduk dan percaya kepada dugaan dan asumsi bahwa cara yang dilakukan para dukun itu sebagai pengobatan, misalnya tulisan-tulisan azimat, rajah-rajah, menuangkan cairan yang telah dibaca mantra-mantra syirik dan sebagainya. Semua itu adalah praktek perdukunan dan penipuan terhadap manusia. Barangsiapa yang rela menerima praktek-praktek tersebut tanpa menunjukkan sikap penolakannya, sungguh ia telah ikut tolong-menolong dalam perbuatan bathil dan kufur.
Lalu apa yang harus kita lakukan sebagai seorang muslim untuk menangkal dan mengobati sihir dalam kehidupan sehari-hari ? Berikut Cara-cara yang diajarkan Nabi kita Muhammad SAW :


Cara menangkal atau mencegah pengaruh sihir
1. Dalam setiap keadaan senantiasa mentauhidkan Allah Azza wa Jalla dan bertawakkal kepadaNya, serta menjauhi perbuatan syirik dengan segala bentuknya. Allah Azza wa Jalla berfirman :
إِنَّهُ لَيْسَ لَهُ سُلْطَانٌ عَلَى الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ {99} إِنَّمَا سُلْطَانُهُ عَلَى الَّذِينَ يَتَوَلَّوْنَهُ وَالَّذِينَ هُمْ بِهِ مُشْرِكُونَ

"Sesungguhnya setan itu tidak ada kekuasaan atas orang-orang yang beriman dan bertawakkal kepada Rabbnya. Sesungguhnya kekuasaan setan hanyalah atas orang-orang yang menjadikannya sebagai pemimpin dan atas orang-orang yang mempersekutukannya dengan Allah". [An Nahl : 99-100].
Ketika Menafsirkan ayat di atas, Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di berkata : “Sesungguhnya setan tidak memiliki kekuasaan untuk mempengaruhi (mengalahkan) orang-orang yang beriman dan bertawakkal kepada Rabbnya semata, yang tidak ada sekutu bagiNya, maka Allah Subhanahu wa Ta'ala akan membela orang-orang mu’min yang bertawakkal kepadaNya dari setiap kejelekan setan, sehingga tidak ada celah sedikitpun bagi setan untuk mencelakakan mereka”. Dan ayat-ayat semisal ini banyak terdapat di dalam Al Qur`an.
2. Melaksanakan setiap kewajiban-kewajiban yang Allah Subhanahu wa Ta'ala perintahkan, dan menjauhi setiap yang dilarang, serta bertaubat dari setiap perbuatan dosa dan kejelekan. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu 'anhu :
يَا غُلاَمُ ! إنِي أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ ، احْفَظِ اللهَ يَحْفَظْكَ...

"Wahai anak, sesungguhnya aku akan mengajarkanmu beberapa kalimat. Jagalah Allah, niscaya Allah akan menjagamu…"
Syaikh Nazhim Muhammad Sulthan menyatakan, makna sabda Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam (احْفَظِ اللهَ ) adalah jagalah perintah-perintahNya, larangan-laranganNya, hukum-hukumNya serta hak-hakNya. Caranya, dengan memenuhi apa-apa yang Allah dan RasulNya perintahkan berupa kewajiban-kewajiban, serta menjauhi segala perkara yang dilarang. Sedangkan makna (يَحْفَظْكَ ) ialah, barangsiapa yang menjaga perintah-perintahNya, mengerjakan setiap kewajiban dan menjauhi setiap laranganNya, niscaya Allah k akan menjaganya. Karena balasan suatu amalan, sejenis dengan amal itu sendiri. Penjagaan Allah Subhanahu wa Ta'ala terhadap hamba meliputi penjagaan terhadap dirinya, anak, keluarga dan hartanya. Juga penjagaan terhadap agama dan imannya dari setiap perkara syubhat yang menyesatkan”.
3. Tidak membiarkan anak-anak berkeliaran saat akan terbenamnya matahari. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, yang artinya: "Jika malam telah masuk -jika kalian berada di sore hari-, maka tahanlah anak-anak kalian. Sesungguhnya setan berkeliaran pada waktu itu. tatkala malam telah datang sejenak, maka lepaskanlah mereka". [HR Bukhari Muslim].
4. Membersihkan rumah dari salib, patung-patung dan gambar-gambar yang bernyawa serta anjing. Diriwayatkan dalam sebuah hadits, bahwa Malaikat (rahmat) tidak akan memasuki rumah yang di dalamnya terdapat hal-hal di atas. Demikian juga dibersihkan dari piranti-piranti yang melalaikan, seruling dan musik.
5. Memperbanyak membaca Al Qur`an dan manjadikannya sebagai dzikir harian. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
لَا تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ مَقَابِرَ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْفِرُ مِنْ الْبَيْتِ الَّذِي تُقْرَأُ فِيهِ سُورَةُ الْبَقَرَةِ

"Janganlah menjadikan rumah-rumah kalian layaknya kuburan. Sesungguhnya setan lari dari rumah yang dibaca di dalamnya surat Al Baqarah".
6. Membentengi diri dengan doa-doa dan ta’awudz serta dzikir-dzikir yang disyariatkan, seperti dzikir pagi dan sore, dzikir-dzikir setelah shalat fardhu, dzikir sebelum dan sesudah bangun tidur, do’a ketika masuk dan keluar rumah, do’a ketika naik kendaraan, do’a ketika masuk dan keluar masjid, do’a ketika masuk dan keluar kamar mandi, do’a ketika melihat orang yang mandapat musibah, serta dzikir-dzikir lainnya.
Ibnul Qayyim berkata,”Sesungguhnya sihir para penyihir itu akan bekerja secara sempurna bila mengenai hati yang lemah, jiwa-jiwa yang penuh dengan syahwat yang senanantiasa bergantung kepada hal-hal rendahan. Oleh sebab itu, umumnya sihir banyak mengenai para wanita, anak-anak, orang-orang bodoh, orang-orang pedalaman, dan orang-orang yang lemah dalam berpegang teguh kepada agama, sikap tawakkal dan tauhid, serta orang-orang yang tidak memiliki bagian sama sekali dari dzikir-dzikir Ilahi, doa-doa, dan ta’awwudzaat nabawiyah.”
7. Memakan tujuh butir kurma ‘ajwah setiap pagi hari. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :
مَنْ تَصَبَّحَ كُلَّ يَوْمٍ سَبْعَ تَمَرَاتٍ عَجْوَةً لَمْ يَضُرَّهُ فِي ذَلِكَ الْيَوْمِ سُمٌّ وَلَا سِحْرٌ

"Barangsiapa yang makan tujuh butir kurma ‘ajwah pada setiap pagi, maka racun dan sihir tidak akan mampu membahayakannya pada hari itu". 
Dan yang lebih utama, jika kurma yang kita makan itu berasal dari kota Madinah (yakni di antara dua kampung di kota Madinah), sebagaimana disebutkan dalam riwayat Muslim. Syaikh Abdul ’Aziz bin Baz berpendapat, seluruh jenis kurma Madinah memiliki sifat yang disebutkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ini. Namun beliau juga berpendapat, bahwa perlindungan ini juga diharapkan bagi orang yang memakan tujuh butir kurma, selain kurma Madinah secara mutlak.

Terapi pengobatan setelah terkena pengaruh sihir

1. Metode pertama : Mengeluarkan dan menggagalkan sihir tersebut jika diketahui tempatnya dengan cara yang dibolehkan syariat. Ini merupakan metode paling ampuh untuk mengobati orang yang terkena sihir.

2. Metode kedua : Dengan membaca ruqyah-ruqyah yang disyariatkan. Para ulama telah bersepakat bolehnya menggunakan ruqyah sebagai pengobatan apabila memenuhi tiga syarat.

  • Pertama : Hendaknya ruqyah tersebut dengan menggunakan Kalamullah (ayat-ayat Al Qur`an), atau dengan Asmaul Husna atau dengan sifat-sifat Allah Azza wa Jalla, atau dengan doa-doa yang diajarkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
  • Kedua : Ruqyah tersebut dengan menggunakan bahasa Arab, atau dengan bahasa selain Arab yang difahami maknanya.
  • Ketiga : Hendaknya orang yang meruqyah dan yang diruqyah meyakini, bahwa ruqyah tersebut tidak mampu menyembuhkan dengan sendirinya, tetapi dengan kekuasaan Allah Azza wa Jalla. Karena ruqyah hanyalah salah satu sebab di antara sebab-sebab diperolehnya kesembuhan. Dan Allah-lah yang menyembuhkan.
Selain itu, ada hal sangat penting yang juga harus diperhatikan, bahwa ruqyah akan bekerja secara efektif bila orang yang sakit (terkena sihir) dan orang yang mengobati sama-sama memiliki keyakinan yang kuat kepada Allah, bertawakkal kepadaNya semata, bertakwa dan mentauhidkanNya, serta meyakini dengan sebenar-benarnya bahwa Al Qur`an adalah penyembuh bagi penyakit dan rahmat bagi orang-orang beriman. Jika hal ini tidak terpenuhi, maka ruqyah tersebut tidak akan berefek kepada penyakitnya, karena ruqyah itu sendiri merupakan obat mujarab yang diajarkan oleh syari’at. Namun ibarat senjata, setajam apapun ia, jika berada di tangan orang yang tidak lihai menggunakannya, maka senjata itu tidak banyak manfaatnya.

Dikatakan oleh Ibnu At Tiin: “Ruqyah dengan membaca mu’awwidzat atau dengan nama-nama Allah Subhanahu wa Ta'ala merupakan pengobatan rohani, (akan bekerja efektif) bila di baca oleh hambaNya yang shalih; kesembuhan pun akan diperoleh dengan izin Allah Azza wa Jalla “.Diantara bentuk pengobatan yang termasuk metode kedua ini ialah sebagai berikut:-

Membaca surat Al Fatihah, ayat kursi, dua ayat terakhir surat Al Baqarah, surat Al Ikhlash, An Naas dan Al Falaq sebanyak tiga kali atau lebih dengan mengangkat tangan, tiupkan ke kedua tangan tersebut seusai membaca ayat-ayat tadi, kemudian usapkan ke bagian tubuh yang sakit dengan tangan kanan.

- Membaca ta’awwudz (doa perlindungan diri) dan ruqyah-ruqyah untuk mengobati sihir, di antaranya sebagai berikut:

a. Membaca doa :
 أسْألُ اللهَ العَظِيْمَ رَبَّ العَرْشِ العَظِيْمِ أنْ يَشْفِيَكَ

"Aku mohon kepada Allah Yang Maha Agung Pemilik ‘Arsy yang agung agar menyembuhkanmu (dibaca sebanyak tujuh kali)".
b. Orang yang terkena sihir meletakkan tangannya pada bagian tubuh yang terasa sakit, kemudian membaca: (بِسْمِ الله) sebanyak tiga kali lalu membaca :

أعُوذُ بِالله وَ قُدْرَتِهِ مِنْ شَرِّ مَا أجِدُ وَ أحَاذِرُ

"Aku berlindung kepada Allah dan kekuasaan-Nya dari setiap kejelekan yang aku jumpai dan aku takuti".
c. Mengusap bagian tubuh yang sakit sambil membaca doa :

اللهَُّمَ رَبَّ النَّاسِ أَذْهِبِ الْبَأْسَ وَاشْفِ أَنْتَ الشَّافِي لَا شِفَاءَ إِلَّا شِفَاؤُكَ شِفَاءً لَا يُغَادِرُ سَقَمًا

"Ya Allah, Rabb Pemelihara manusia, hilangkanlah penyakitku dan sembuhkanlah, Engkau-lah Yang Menyembuhkan, tiada kesembuhan melainkan kesembuhan dariMu, kesembuhan yang tidak meninggalkan penyakit"
d. Membaca doa:


أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّةِ مِنْ غَضَبِهِ وَ عِقَابِهِ وَشَرِّ عِبَادِهِ وَمِنْ هَمَزَاتِ الشَّيَاطِينِ وَأَنْ يَحْضُرُونِ

"Aku berlindung dengan kalimat Allah yang sempurna dari kemarahanNya, dari kejahatan hamba-hambaNya, dan dari bisikan-bisikan setan dan dari kedatangan mereka kepadaku.
3. Metode ketiga : Mengeluarkan sihir tersebut dengan melakukan pembekaman pada bagian tubuh yang terlihat bekas sihir, jika hal itu memang memungkinkan. Bila tidak memungkinkan, maka ruqyah-ruqyah di atas telah mencukupi untuk mengobati sihir.Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan rahasia pembekaman di bagian yang terkena sihir ini. Bahwa sihir itu tersusun dari pengaruh ruh-ruh jahat dan adanya respon kekuatan alami yang lahir dari ruh jahat tersebut. Inilah jenis sihir yang paling kuat, terutama pada bagian tubuh yang menjadi pusat persemayaman sihir tadi. Maka pembekaman pada bagian tersebut merupakan metode pengobatan yang sangat efektif bila dilakukan sesuai dengan cara yang tepat.


4. Metode keempat : Dengan menggunakan obat-obatan alami sebagaimana disebutkan Al Qur’an dan As Sunnah, dengan disertai keyakinan penuh terhadap kebenaran firman Allah Subhanahu wa Ta'ala dan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang menerangkannya. Di antaranya dengan menggunakan madu, habbahtus sauda` (jinten hitam), air zam-zam, minyak zaitun dan obat-obatan lainnya yang dibenarkan syara’ sebagai obat. Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
الشِّفَاءُ فِي ثَلَاثَةٍ شَرْبَةِ عَسَلٍ وَشَرْطَةِ مِحْجَمٍ وَكَيَّةِ نَارٍ وَأَنْهَى أُمَّتِي عَنْ الْكَيِّ

"Pengobatan itu ada dalam tiga hal. (Yaitu): berbekam, minum madu dan pengobatan dengan kay (besi panas). Sedangkan aku melarang umatku menggunakan pengobatan dengan kay".
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu 'anha, ia mendengar Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّ هَذِهِ الْحَبَّةَ السَّوْدَاءَ شِفَاءٌ مِنْ كُلِّ دَاءٍ إِلَّا مِنْ السَّامِ قُلْتُ وَمَا السَّامُ قَالَ الْمَوْتُ

“Sesungguhnya habbah sauda’ ini merupakan obat bagi segala jenis penyakit, kecuali as saam”. Aku (‘Aisyah) bertanya,”Apakah as saam itu?” Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab,”Kematian."
Dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu 'anhu, ia mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
ماَءُ زَمْزَمَ لِمَا شُرِبَ لَهُ

"Air zam-zam itu tergantung niat orang yang meminumnya". 
Dari Umar bin Al Khaththab Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
كُلُوا الزَّيْتَ وَادَّهِنُوا بِهِ فَإِنَّهُ مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَكَةٍ

"Makanlah minyak zaitun dan minyakilah rambut kalian dengannya, karena sesungguhnya ia berasal dari pohon yang diberkahi". 
Demikianlah sekilas pembahasan tentang sihir berikut cara mencegah dan mengobatinya. Selayaknya bagi setiap pribadi muslim, terutama para pemimpin keluarga, untuk mengetahui hal ini dan mengajarkan kepada keluarganya. Agar anggota keluarga mampu membentengi diri dari kejahatan sihir. Selayaknya pula bagi pemimpin keluarga, untuk mengkondisikan keluarganya agar senantiasa taat kepada Allah Sang Pemelihara manusia. Membersihkan rumahnya serta menyingkirkan sejauh-jauhnya dari segala sarana yang mengundang kemaksiatan, seperti musik, majalah-majalah porno, gambar makhluk hidup dan sebagainya. Agar keluarganya mendapat curahan rahmat dan perlindungan dari Allah, terjauhkan dari gangguan iblis dan bala tentaranya. Wallahu waliyyut taufiiq.
(Dirangkum dari : Almanhaj.or.id)


Dibawah ini adalah Video bacaan ayat-ayat Ruqyah yg bisa dengarkan dengan seksama dan JANGAN mendengarkan sambil menyetir (No Driving). Lakukan setiap hari sekali. Lebih afdol jika terlebih dahulu berwudhu (dalam keadaan suci).






Minggu, 09 Maret 2014

Pendidikan Antikorupsi Dalam Keluarga



oleh : Muhammad Kosim



Bangsa ini mesti bersatu melawan korupsi. Untuk mem­berantas korupsi tidak saja dilakukan melalui penegakan hukum, akan tetapi perlu dilakukan upaya preventif berupa pendidikan tentang pemberantasan dan gawatnya korupsi itu sendiri. Semua itu mesti didukung oleh semua lapisan masyarakat.




Pendidikan antikorupsi juga mesti dilakukan di tingkat keluarga. Sebab keluarga me­rupakan lembaga pen­didikan pertama yang dialami dan diterima oleh setiap manusia. Untuk itu, pembentukan ke­pribadian paling efektif dila­kukan di tingkat keluarga.
Dalam perspektif Islam ditegaskan: jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka (Qs. At-Tahrim/66: 6). Pesan ini menunjukkan adanya tang­gung jawab setiap individu untuk mendidik keluarganya agar terhindari dari segala bentuk perilaku yang negatif, tidak bermanfaat atau perilaku yang dapat menimbulkan mudharat.
Orang yang paling ber­tanggung jawab dalam keluar­ga tentu kedua orang tua; ayah dan ibu. Dalam konteks pen­didikan antikorupsi ini, orang tua memiliki tanggung jawab penting dalam mendidik anak-anak dan keluarganya agar terhindar dari korupsi. Dalam hal ini, ada beberapa hal yang patut dilakukan.


Pertama, menyadari bahwa hasil korupsi akan meracuni rohaniah anak dan keluarga. Dalam mindset orang tua mesti terbentuk bahwa korupsi adalah pekerjaan haram. Jika korupsi yang dilakukan itu me­ng­hasilkan uang dan di­gunakan untuk memberi makan anak dan istri, sesungguhnya ia telah membentuk keluarga yang bermental buruk, rohaniahnya rusak, sulit menerima ke­benaran dan cenderung merasa senang dan nyaman melakukan hal-hal yang diharamkan. Te­gasnya mereka jauh dari hidayah Allah.
Mengenai dampak negatif makanan yang haram terhadap perkembangan psikologis anak, juga diceritakan oleh Hamka dalam tafsirnya, al-Azhar. Ia mengutip kisah Abu Muham­mad al-Juwaini, seorang per­muda yang taat beribadah kepada Allah dan sangat ber­hati-hati kepada suata perkara yang subhat. Suatu ketika ia menikahi seorang perempuan yang shalehah, taat beribadah kepada Allah SWT. Dari hasil pernikahan itu lahirlah seorang anak laki-laki yang diberi nama Abdulmalik.
Setelah anak itu lahir, al-Juwaini berpesan sangat kepada istrinya jangan sampai ada perempuan lain yang me­nyusukan anak itu. Namun, suatu ketika istrinya sakit sehingga air susunya kering, sementara Abdilmalik yang masih bayi  itu menangis kehausan. Lalu datanglah tetangganya, seorang perem­puan yang merasa kasi­han mendengar tangisan anak itu. Perempuan itu pun mengambil dan menyusukan anak tersebut. Tiba-tiba datanglah Abu Mu­hammad al-Juwaini. Melihat anaknya disusui oleh perem­puan lain, dia pun tidak senang sehingga perempuan tersebut tahu diri dan bergegas pergi.
Kemudian al-Juwaini me­ngam­bil anak itu lalu me­nong­gengkan kepalanya dan me­ngorek mulutnya, sehingga anak itu memuntahkan air susu perempuan tetangga tadi. Beliau pun berkata: “Bagiku tidak keberatan jika anak ini mening­gal di waktu kecilnya, dari pada rusak perangainya karena me­minum susu perempuan lain, yang tidak aku kenal ke­taatannya kepada Allah.”
Anak yang bernama Ab­dulmalik itu kemudian terkenal dengan nama Imamul Haramain Abdulmalik al-Juwaini, ia adalah seorang ulama mazhab Syafi’i yang masyhur, pengikut teologi al-Asy’ari, guru dari madrasah-madrasah Naisabur dan salah seorang yang men­didik Imam al-Ghazali, sampai menjadi ulama besar pula. Kadang-kadang sedang me­ngajarkan ilmunya pernah beliau marah-marah. Ketika itu, berkatalah dia setelah sadar dari kemarahannya, bahwa “(marah) ini barangkali adalah dari bekas sisa susu perempuan lain itu, yang tidak sempat aku mun­tahkan.”
Hanya air susu dari seorang perempuan yang tak dikenal ketaatannya kepada Allah dapat berakibat mentalitas seseorang sulit mengendalikan emo­sionalnya, padahal orang ter­sebut telah menjadi ulama besar. Lalu bagaimana dengan men­talitas seorang anak yang di­besar­kan dengan hasil ko­rupsi? Dan al-Juwaini adalah prototype orang tua yang sadar bahaya makanan subhat, apalagi haram, terhadap perkembangan men­talitas anaknya.


Kedua, jangan mengukur segala sesuatu dengan materi. Orang tua mesti mengajarkan kepada anaknya bahwa yang materi bukanlah tujuan (goal), tetapi sebagai sarana untuk mencapai tujuan. Namun, ter­kadang orang tua tidak sadar bahwa apa yang ia lakukan telah mengajarkan kepada anaknya bahwa materi meru­pa­kan tujuan dan indikator utama dalam mencapai kesuk­sesan. Misalnya, mem­berikan reward atau peng­hargaan kepada anak hanya dengan materi semata. Jika anak meraih prestasi, maka orang tuanya memberi imbalan berupa uang. Jika anak mau disuruh, juga diberi imbalan uang. Dan seterusnya. Akibatnya, psi­kologis anak akan terbentuk dengan “segala sesuatu diukur dengan uang”.
Boleh saja reward yang diberikan berupa materi. Namun mesti seimbang de­ngan mengoptimalkan spiri­tualitasnya. Imbalan tidak hanya berupa uang, tetapi bisa berupa pujian, ucapan yang menyenangkan, atau dengan cara berbagi dengan sesama; anak yatim, fakir miskin dan sebagainya.
Begitu pula dengan mem­berikan arti tentang sukses, janganlah diukur dengan materi semata. Ketika mem­bimbing anak untuk bercita-cita, jangan hanya karena besarnya jumlah uang yang dihasilkan dari apa yang dicita-citakan. Tetapi cita-cita tersebut dipilih karena diang­gap profesi itu banyak mem­beri manfaat bagi orang lain, berperan eksis di tengah masyarakat, hidup bernilai dan diridhai Allah SWT.


Ketiga, memberikan kete­ladan kepada keluarga. Orang tua mesti menjadi teladan bagi anak-anaknya untuk tegas mengatakan tidak pada korup­si. Orang tua senantiasa mem­berikan pemahaman kepada anaknya bahwa hidup yang bernilai bukanlah kemewahan, tetapi keteguhan hati dalam menjalankan nilai-nilai ke­benaran.
Selain itu, korupsi tidak saja dipahami dari segi materi seperti mengambil uang yang bukan haknya. Tetapi korupsi juga dapat terjadi pada waktu, atau korupsi waktu. Hidup disiplin, menghargai waktu dan mengisinya dengan kegiatan positif merupakan hal penting yang mesti diajarkan oleh orang tua kepada anak-anak­nya dengan penerapan, bukan teori semata.
Keempat, memberikan pemahaman kepada anak sejak dini bahwa korupsi adalah perbuatan tercela. Orang tua hendaknya menanamkan ke­ben­cian terhadap korupsi. Dalam suatu hadis dijelaskan bahwa ketika seorang sahabat bernama Kirkirah mati di medan perang, Rasulullah saw. bersabda: “dia masuk neraka”. Para sahabat pun bergegas pergi me­nye­lidiki perbekalan pe­rangnya. Mereka mendapatkan mantel yang ia korup dari harta rampasan perang. (H.R Bukhari dalam kitab Jihad wa al-sair). Demikian kerasnya kecaman Islam terhadap para koruptor.

Selain itu, untuk me­nanam­kan kebencian ter­hadap korup­si, orang tua perlu me­negaskan bahwa ke­banggaannya sebagai orang tua bukanlah karena anak-anaknya kelak menjadi orang kaya-raya, tetapi ke­banggaan yang sebenarnya adalah ketika menyaksikan anak-anaknya menjadi orang yang shaleh, teguh memegang prinsip kebenaran. Dengan begitu diharapkan mereka akan menjadi insan yang berprinsip, tidak mudah tergoda oleh pengaruh lingkungan yang rusak, termasuk korupsi yang seakan membudaya.
Terakhir orang tua juga hendaknya senantiasa berdoa kepada Allah agar anak dan keluarganya terhindar dari perbuatan-perbuatan maksiat, terutama perbuatan yang ter­kutuk, seperi korupsi ini. Doa Nabi Ibrahim as patut dicontoh oleh orang tua: "Rabbi habli minashshalihin, Ya Allah anugerahkanlah kepadaku anak yang shaleh”.
Dengan upaya dan doa seperti ini, insya Allah kita mampu melahirkan anak-anak yang anti terhadap korupsi. Mereka tetap istiqamah me­negakkan kebenaran dan me­me­rangi kebatilan. Insya Allah.



Sumber : http://www.harianhaluan.com/



Al-Ghazali dan Pendidikan Anti-Korupsi


Tidak ada bayi baru lahir langsung jadi koruptor. Manusia lahir asalnya bersih, kullu mawlkdin ykladu ‘alal fitrah, kata Nabi. Kejahatan dan sifat tercela diperoleh dari lingkungan dan intelektualnya.

Bayi lahir asalnya bersih, Kullu mauludin yuladu alal fitrah

Oleh: Dr. Syamsuddin Arif

HAMPIR setiap hari sejak beberapa bulan terakhir, kita dibombardir berita korupsi dari kelas kakap hingga kelas teri. Dari tingkat pusat sampai level kelurahan. Dari pegawai biasa hingga pejabat tinggi. Dari pengusaha hingga politisi. Tak terkecuali jaksa, hakim, dan polisi, bahkan menteri. Sepanjang tahun 2004 hingga 2012 saja, data dari Kemendagri mencatat, ada 2.976 anggota DPRD Tingkat I dan DPRD Tingkat II terlibat tindakan kriminal, dimana 33,2 persen atau 349 kasus adalah korupsi. Umumnya kasus manipulasi anggaran atau mark-up biaya pengadaan barang, fasilitas dan jasa. Juga pemungutan biaya ilegal atas layanan publik, pemberian suap alias gratifikasi dan penyalahgunaan wewenang atau jabatan untuk kepentingan dan keuntungan pribadi maupun relasi.
Di satu sisi, berita-berita tersebut justru menimbulkan frustasi ketimbang harapan. Kepercayaan masyarakat jadi makin surut pada institusi-institusi di negeri ini. Alih-alih prihatin atau malu, publik maupun pelaku kini sama-sama menjadikan korupsi sebagai bahan guyonan, karena kritik dan sindiran setajam apapun tak lagi mempan. Seperti seloroh Mbah Kartolo di TIM Jakarta: “Paling enak numpak motor, paling aman numpak sepur. Paling aman dadi koruptor, nek konangan ya ndek Singapur”. Maksudnya: paling nyaman naik motor, paling aman naik kereta. Paling aman jadi koruptor, kalau ketahuan kabur ke Singapur(a). Maka muncul di sisi lain tanda tanya besar dalam benak kita: Apakah sebab ini semua dan adakah obatnya?
Tiga Teori
Secara umum, penjelasan para ahli mengenai korupsi dapat dikelompokkan menjadi tiga.
Pertama, teori kesempitan yang mengatakan bahwa orang korupsi karena gajinya kecil, pendapatannya rendah, hidupnya susah, kebutuhan banyak. Maka solusinya, menurut teori ini, kesejahteraan perlu ditingkatkan dan gaji dinaikkan. Namun masalahnya, jika teori kesempitan ini benar, mengapa banyak pelaku korupsi itu ternyata orang-orang yang kehidupannya makmur? Maka disodorkanlah dua tipe korupsi: yaitu korupsi karena kesempitan hidup (corruption out of need) dan korupsi karena rakus (corruption out of greed). Seperti hasil penelitian Vito Tanzi (1998, hlm. 572), kenaikan gaji dan kecukupan tidak menjamin orang berhenti atau enggan korupsi.
Teori kedua boleh kita namakan teori kesempatan. Menurut teori ini, orang korupsi karena adanya kesempatan, kendati awalnya mungkin tidak punya keinginan atau rencana sama sekali. Namun teori ini pun bermasalah juga. Apakah semua orang yang punya kesempatan pasti korupsi? Bukankah pada kenyataannya tidak sedikit orang berkesempatan korupsi tetapi tidak melakukannya? Teori yang berpijak pada asumsi keliru ini menganggap manusia itu cenderung berbuat jahat. Maka dari itu semua pintu korupsi hendaklah dikunci rapat-rapat. Jangan sekali-sekali memberi ruang atau peluang walau sedikit atau sekecil apapun.
Namun lagi-lagi masalahnya seperti kata Iwan Fals (1986), “Otak tikus memang bukan otak udang.” Otak koruptor tidak sama dengan otak komputer. Jika sudah niat korupsi, ada atau tidak ada kesempatan itu bukanlah persoalan. Kesempatan bisa dicari, bahkan diciptakan. Dimana ada kemauan, disitu ada jalan.
Adapun yang ketiga adalah teori kelemahan. Pendukung teori ini percaya bahwa tindak korupsi merebak akibat lemahnya tata kelola pemerintahan (poor governance), lemahnya sarana penegakan hukum (weak legal infrastructure), dan lemahnya mekanisme pengawasan (weak monitoring system). Namun, teori ini pada gilirannya terjebak dalam logika ‘muter-muter’ alias circular reasoning. Bahwasanya korupsi disebabkan oleh pemerintahan yang lemah, dan pemerintahan yang lemah disebabkan oleh korupsi. Pemerintahan mesti kuat agar korupsi lenyap, dan korupsi baru lenyap bila pemerintahan kuat. Jadilah pertanyaannya sekarang bagaimana memutus lingkaran setan ini.
Perspektif Agama
Karena korupsi adalah tindakan curang untuk mendapatkan uang ataupun keuntungan dengan cara menyalahi, melangkahi, dan mengakali aturan hukum dan undang-undang negara, maka termasuk tindak korupsi itu memberi dan menerima suap (bribery), mencuri (theft) atau menggelapkan (embezzlement), melakukan pemalsuan (fraud), pemerasan (extortion), dan menyalahgunakan wewenang atau jabatan (graft). Semua praktek ini hukumnya jelas haram. Agama melarang keras perbuatan korupsi segala bentuk: ghisysy (menipu), mencuri (sariqah), menggelapkan (ghulul), menyuap (rasywah), dan menerima atau meminta suap (irtisya’).
“Siapa bertindak curang [yakni korupsi] niscaya datang dengan kecurangannya itu pada hari kiamat kelak”, firman Allah dalam al-Qur’an (3:161).
Menurut Imam ar-Razi, curang di sini maksudnya mengambil hak [milik negara] secara diam-diam atau sembunyi-sembunyi (at-Tafsir al-Kabir, cetakan Beirut 2005, jilid 3, juz. 9, hlm. 62).
Kanjeng Nabi Muhammad pun telah bersabda: “Wahai manusia, siapapun yang menjalankan tugas untuk kami, lalu dia menyembunyikan dari kami barang sekecil jarum atau lebih, maka apa yang disembunyikannya itu adalah kecurangan [yakni korupsi] yang kelak dibawanya pada hari kiamat”, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Imam Ahmad.
Bahkan dalam hadits lain, “Seutas tali sekalipun akan menjadi api neraka atau dua utas talipun akan menjadi api neraka [seandainya tidak dikembalikan].” (HR: Imām al-Bukhārī).
Kalau secara normatif agama begitu gamblang hukumnya, lantas mengapa faktanya kejahatan korupsi begitu sukar untuk dihentikan? Apabila kita cermati secara mendalam, niscaya jelas bahwa korupsi itu nyaris tidak ada hubungannya dengan status agama pelakunya.
Tindakan korupsi lebih erat kaitannya dengan soal mentalitas daripada identitas agama. Sebagaimana halnya kebersihan, kedisiplinan dan kerja-keras lebih banyak ditentukan oleh sikap dan watak individu ketimbang afiliasi ideologinya.
Nabi mengatakan, “Manusia itu ibarat logam. Kalau aslinya emas, maka apapun bentuknya –cincin, kalung, ataupun gelang– tetap emas.” Jika seseorang itu dasarnya baik, rajin dan jujur, maka dia akan menjadi Muslim, Kristen, Yahudi, Hindu, Buddha yang baik, rajin dan jujur. Sebaliknya jika wataknya buruk, licik, dan pemalas, maka apapun agamanya akan tetap jahat dan buruk perangainya.
Memang betul, manusia bukanlah logam. Manusia lahir asalnya bersih, kullu mawlūdin yūladu ‘alal fitrah, kata Kanjeng Nabi. Tidak ada bayi baru lahir langsung jadi koruptor. Kejahatan dan sifat-sifat tercela seperti halnya akhlak terpuji diperoleh dari lingkungan sosial dan intelektualnya. Jadi tak salah kalau disimpulkan bahwa korupsi itu hasil pembelajaran, pergaulan, dan pendidikan.
Di sinilah langkah kongkrit pemerintah (Kemendiknas) bersama KPK memperkenalkan mata pelajaran dan mata kuliah anti-korupsi di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi patut dipuji dan didukung sepenuh hati.
Betapa besar pengaruh pendidikan terhadap korupsi telah lama disinyalir oleh Ibn Khaldun, pakar sosiologi dan sejarawan Muslim klasik. Masyarakat yang sekian lama mengalami penindasan dan kekerasan biasanya akan menjadi bangsa yang korup. Kezaliman dan penindasan menyempitkan jiwa, menguras semangat, dan akhirnya membuat mereka jadi bangsa pemalas, pembohong dan licik. Meski berlawanan dengan hati nurani, hal itu dilakukan jua demi menghindari penindasan yang lebih berat dari penguasa. Lama-kelamaan, berbuat jahat dan menipu melekat jadi kebiasaan dan karakter mereka (Students, slaves, and servants who are brought up with injustice and tyranny are overcome by it. It makes them feel oppressed and causes them to lose their energy. It makes them lazy and induces them to lie and behave viciously. They contradict their conscience for fear of suffering further oppression. Thus they learn deceit and trickery). Demikian tulisnya dalam kitab ‘al-Muqaddimah’ yang diterjemahkan oleh Franz Rosenthal (1967).
Namun, disamping langkah-langkah legal, politis dan edukatif, pencegahan korupsi juga perlu menggunakan pendekatan spiritual agama. Kalau Anda puasa, jangankan yang haram, sedang yang halal pun tidak Anda makan. Sementara yang tidak puasa punya pilihan memakan yang halal saja, yang syubhat (belum tentu halal dan boleh jadi haram), atau bahkan yang haram.
Pada akhirnya semua ini kembali pada sikap. Menurut Imam al-Ghazālī, paling utama sikap orang sholeh dan wara’ yang menjauhi semua kategori karena zuhud. Yang pertengahan itu sikap orang bertaqwa yang menghindari syubhat dan menolak yang haram. Yang paling rendah adalah sikap tidak peduli halal haram dan sebagainya. Inilah resep Imam al-Ghazali untuk pendidikan anti-korupsi.*


Peneliti INSISTS dan Dosen ISID Gontor

Sumber : hidayatullah.com