Powered By Blogger

Jumat, 23 Agustus 2013

Mozaik


Cerpen Wina Bojonegoro (Media Indonesia, 17 Maret 2013)


VIE:

ADA sejumlah pertanyaan yang membiang di dadaku. Bagai hendak meletus, seperti balon kebanjiran udara.
Pertama, jika pasanganmu diam ketika ia tahu kau telah berdusta padanya. Kau mestinya bertanya; ia diam karena sudah tak ingin ribut atau sudah tak peduli apa pun. Coba kau cerna pertanyaan ini, meski kau tak punya waktu menggunakan hatimu. Mungkin saja hatimu telah kisut, kering seperti kain pel yang lupa diangkat dari jemuran.
Kedua, apakah kau mengerti, ia kehilangan senyum karena saban hari mendapati meja makan yang sunyi. Tak ada percakapan pagi. Ia diam karena kau lebih mencintai lalu lintas politik yang kusut, konspirasi antarpartai atau antargerombolan membuatmu begitu lekat mencintai kongsi-kongsimu, lupa pada kongsi utama yang dulu kau beri label ‘belahan jiwa’.
Ketiga, tahukah kau bahwa ia dilanda kebosanan tingkat dewa? Jenuh dengan rutinitas dan rambut sasak, serta perhiasan yang membebani sekujur tubuhnya. Ia merindukan hal-hal sederhana, suara denting piring, sendok-garpu, dan percakapan lembut dari hati, di antara lamat-lamat suara piano.
Keempat, marahkah kau jika ia menemukan pundak lain, yang kukuh meski ia tak berkilau sepertimu? Tak bersayap selaiknya kedua lenganmu yang mampu terbang mengelilingi dunia dalam tujuh hari. Pundak yang selalu ada saat ia butuhkan, yang menunduk hormat ketika kau ada di antaranya, yang tersenyum sopan seolah kepalanya bisa kau jerembapkan di lantai rumahmu yang mengilat. Pundak lelaki yang kau bayar hanya Rp 5 juta setiap bulan, untuk mengajarinya membuat sketsa, bermain piano, berbahasa asing, dan segala kebutuhan nonfisik yang tak sanggup kau berikan.
Kelima, ingatkah kau pernah menjambak rambutnya pada suatu malam, sambil kau telikungkan kedua tangan di punggungnya, dan kau bilang, “Kau sepertinya pintar, namun sesungguhnya bodoh!” Laki-laki seperti dia tak punya apa pun kecuali kepandaian memikat wanita dengan piano atau hasil sketsa murahan dari tangannya yang kering dan berdebu. Ingatkah kau bagaimana ia menggigit bibirnya hingga berdarah setelah kau banting tubuhnya. Ia hanya menatap wajahmu dengan mata kosong, ekspresinya melesap bersama tetes keringatmu yang membuncah. Sejak saat itu kau telah kehilangannya. Demi Tuhan, kau telah membuat kekeliruan besar malam itu.
Ia istrimu, Bram. Kau nikahi dengan janji suci pernikahan, jika kau sakiti tubuhnya, atau kau abaikan selama beberapa bulan, ia boleh menceraikanmu. Benar begitu Bram? Kini ia telah menjadi manusia zombi, kau telah mencetaknya sedemikian rupa. Ia istrimu, ia adalah aku.

SHA:

Saya menulis catatan ini karena saya kangen kamu, Bram. Bukan pleidoi dari apa yang saya lakukan semalam, atau malam-malam sebelumnya. Kadang saya begitu kalap, tak memikirkan risikonya. Kebetulan saya sedang senang, dan ingin mengabarkan padamu, saya pikir kalian akan senang melihat saya senang. Setidaknya, saya akan sibuk dan sejenak melupakanmu.
Bram, sekarang saya tahu artinya memilih. Sebenarnya, semalam saya sedih ketika kau berpikir saya sengaja membuat kalian bertengkar. Sungguh, saya tak sejahat itu. Tapi, saya memilih untuk tidak sedih, dan saya berhasil. Saya bangun pagi dengan senyum, setelah sebelumnya saya sulit tidur dan terus memikirkan kalian. Ya, saya memilih untuk tidur nyenyak dan tidak memikirkan kalian. Saya berhasil. Saya tahu apa artinya memilih dan mencintai diri sendiri.
Bram, benar saya mencintaimu. Benar, saya tak mau kamu pergi. Benar, saya ingin menghabiskan sisa hidup denganmu, menjadi istrimu, simpananmu, pacar gelapmu, apa pun namanya, asal bersamamu. Tapi, bukan berarti saya kemudian akan mau menjadi perempuan lemah di hadapanmu. Akan saya katakan TIDAK jika memang begitu adanya. Sebaliknya, akan saya katakan YA jika memang benar itu yang ada padaku. Tidak akan saya biarkan kamu menjajah kebebasan perasaan saya, menghakimi pikiran dan perasaan saya. Saya tidak pernah menghakimi apa yang kau rasakan, yang kau pikirkan. Saya bebaskan kamu Bram, seperti saya tak pernah menuntutmu selama ini.
Dengan cinta, saya menunggumu Bram. Menunggu kau merindukan saya kembali. Maaf, sebenarnya saya tak sanggup berlama-lama tak menemuimu seperti ini. Saya hanya ingin tahu bahwa kau masih merindukan saya. Dan kau akan menemui saya kembali, meski istrimu tahu.
Temui aku, atau aku akan gila karenamu. Aku bisa gila karenamu, dan kau tak akan pernah tahu kegilaan apa yang bakal kulakukan terhadap kalian.

JO:

Maafkan aku, Vie. Terpaksa aku jujur padamu. Aku telah melihat seluruh isi hatimu meski kau tidak mengatakan apa pun padaku. Kau memiliki caramu sendiri untuk melepaskan atau menyembunyikan fakta-fakta, bahkan mungkin suasana hatimu. Tapi sebagai lelaki, meski dengan rentang usia yang tak bisa dibilang pendek, aku dapat membaca setiap gerak tubuhmu, desah napasmu, juga kepak kelopak matamu. Kau butuh pertolongan!
Sejak awal aku tak ingin terlibat dalam urusanmu, Vie. Itu standar operasi seorang pelatih privat, apakah untuk pelajaran bahasa asing, piano, atau sketsa, yang ketiganya kau minati. Aku guru, profesionalitasku bukan diukur dengan uang, melainkan oleh nilai. Sejauh mana muridku berhasil menyerap ilmu. Tentu aku bersukacita ketika suamimu membayarku dengan angka cukup bombastis. Baginya, uang hanya soal remeh-temeh, tinggal menjentikkan jemari, uang berlari mengikutinya.
Vie, tapi bagi seorang guru, uang bukan masker untuk menutup matanya dari segala hal yang dapat ditangkap dari kedua kelopaknya. Hatiku bergemuruh, seolah ruangan ini hendak runtuh, ketika kau duduk sendiri di ruang makan besar itu, mendengarkan rekaman piano kita, pelajaran minggu lalu. Waktu itu kita memainkan What a Wonderful World. Kau bilang, lagu itu hanya membuatku semakin terhina, namun kau tak menjelaskan maksudnya, dan aku tak ingin memaksamu bercerita. Di rumah besar yang sunyi itu, kau duduk sendiri seperti dewi kesunyian. Kau menawariku makan, aku tidak menolak. Sebab bukan makan yang kau butuhkan, melainkan teman berbincang, dan suara sendok garpu yang sederhana. Perbincangan soal cuaca, acara televisi, kemacetan lalu lintas, harga sembako, atau gosip artis. Hari itu tak ada kursus apa-apa, kita hanya berbicara, menyeduh kopi dan saling mengamati wajah masing-masing.
Seperti biasa, kau selalu bersemangat dan tampak baik-baik saja, dalam situasi apa pun. Namun dari caramu tersenyum dan mengerling, caramu menyuapkan makanan, mengunyah, mengedip, aku tahu, kau membutuhkan seorang teman. Kau tidak butuh guru, les privat hanya kamuflase pembunuhan waktu. Kau sedang mencoba mengikuti saran seorang psikolog, yang kau bayar mahal akibat depresimu yang berlapis-lapis: kesepian, banyak uang, tak punya teman, ditinggalkan pasangan untuk bersama perempuan lain. Maka, aku mengubah cara menerima panggilan teleponmu. Sebelumnya, dengan hormat aku akan berkata, “Selamat pagi, Ibu.” Tapi sejak itu, aku bilang, “Hei.” Sederhana bukan? Kau menyukai nada mengalun yang ramah dan akrab itu. Kau mencair, kabut di matamu menguap. Mendung di senyummu berguguran, berubah jadi musim semi. Tak ada yang lebih surgawi bagi seorang manusia, selain menyadari kehadirannya adalah oase bagi orang lainnya. Kau sadari atau tidak, aku adalah oase bagimu.
Aku gembira ketika kau tak lagi menunggu suamimu pulang. Ia seorang pejabat publik, katamu. Kehadirannya dibutuhkan di mana-mana Para menteri membutuhkannya, ketua partai, konstituen, bahkan presiden. Ia orang hebat, wajahnya sering tampil di koran, ia layak untuk sibuk, dan pasti tak punya waktu untuk urusan domestik. Yang ia butuhkan adalah formalitas, upacara-upacara, peresmian-peresmian. Seiring kesadaranmu, yang entah jujur atau kau hanya mencoba mengalah, kau mulai melepaskan keinginan untuk ditemani Bram. Ia lebih dibutuhkan oleh pihak lain daripada istrinya, hiburmu. Kau hidup dengan duniamu sekarang.
Vie, semula aku gembira dengan semua itu. Aku adalah oase bagimu dan Bram adalah mesin ATM yang sempurna. Tapi ketika kau tergugu di depan piano dengan sasak rambutmu yang belum terurai, serta busana pesta gemerlapmu, aku mencium aroma kematian. Kau sudah lama tidak menangis, matamu tak pernah sembab lagi. Waktu itu kau hanya bilang, “kita ketahuan.”
Maafkan aku Vie.
Aku tahu, Sha bukan satu-satunya perempuan dalam lingkarannya saat ini. Ada Rien, Sue, dan Mer. Tapi Sha adalah yang kau kenal karena dia orang dalam yang kau percaya. Itulah yang kucoba menjelaskannya padamu, namun kau menutup telingamu. Kau hanya takut, atau malu memiliki hati yang dipungut seorang kelas jelata semacamku? Tidak Vie, aku lelaki. Yang harus kulakukan adalah menghadapinya. Menantangnya. Mengajaknya memilih, siapa yang lebih layak di antara kami, untuk memilikimu seutuhnya.
***
Sebuah pistol jenis Heckler & Koch kaliber 45 meletus. Peredam membuat suaranya tak begitu menyita perhatian siapa pun di sekitar rumah besar itu. Seorang lelaki roboh di lantai marmer. Noda merah membasahi karpet.
Bram, “Tak ada kata maaf untuk seorang penyusup, Bung!” (*)


Untuk Diana AV Sasa
Penulis tinggal di Surabaya. Buku cerpennya, Korsakov (2012)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar