Oleh Hernowo
[Pada 23 dan 24 Juni 2011, saya diundang oleh Sekolah Tinggi Agama Islam
Negeri (STAIN) Syaikh Abdurrahman Siddik Bangka Belitung untuk menyampaikan
prinsip-prinsip “Mengikat Makna”. Saya kemudian melatihkan sekaligus meminta
para peserta pelatihan membaca-menulis yang dipadukan itu untuk sekaligus
merasakan manfaatnya.]
1
Mengikat makna adalah konsep membaca dan menulis yang disatupadukan yang
telah membantu saya dalam mengenali diri saya dan, khususnya, memudahkan saya
dalam rangka mencuatkan pelbagai potensi diri yang saya miliki. “Kita membaca
buku untuk mencari tahu tentang diri kita sendiri. Apa yang dilakukan,
dipikirkan, dan dirasakan oleh orang-orang lain—entah mereka nyata atau
imajiner—merupakan petunjuk yang sangat penting terhadap pemahaman kita
mengenai siapa sebenarnya diri kita ini dan bisa menjadi seperti apakah kita,”
ujar Ursula K. Leguin. Sementara itu, menulis adalah menyusun (mengonstruksi)
dan merumuskan diri saya ketika saya mengeluarkan sesuatu yang telah saya
pahami dengan baik yang berasal dari kegiatan membaca ataupun dari kegiatan
mendengar, melihat, merasakan, dan sebagainya.
2
Setelah berkali-kali menerapkan konsep mengikat makna—setiap kali usai
membaca, saya pun menuliskan hasil-hasil membaca saya dan sebelum memulai
menulis, saya pun membaca buku terlebih dahulu—saya merasakan sekali bahwa
membaca memerlukan menulis (agar yang telah saya baca tidak hilang) dan menulis
memerlukan membaca (karena membaca adalah memasukkan kata-kata ke dalam diri
sementara menulis adalah mengeluarkan diri dengan bantuan kata-kata yang sudah
tersimpan di dalam diri). Prinsip ini memberikan manfaat luar biasa ketika saya
membaca dan menulis. Salah satu manfaat luar biasa itu adalah saya menjadi
berdaya—tidak loyo dan malas dalam melakukannya.
3
Menjalankan kegiatan mengikat makna memberikan semacam pengalaman yang
sangat berharga bagi diri saya. Pengalaman itu berupa pemberitahuan (alarm)
bahwa bukan kegiatan membaca dan menulisnya yang penting, melainkan kegiatan
meraih maknalah yang harus dipentingkan. Membaca dan, apalagi, menulis adalah
kegiatan yang tidak ringan. Kedua kegiatan ini memerlukan pemikiran yang sangat
tinggi serta, kadang, menguras waktu dan tenaga. Apabila kita menjalankan baik
kegiatan membaca maupun menulis dan kemudian dari kegiatan itu kita tidak
mendapatkan sesuatu yang penting dan berharga (makna), kita pun akan berhenti
menjalankannya. Ada kemungkinan—sekali lagi jika kebermaknaan itu tidak dapat
kita raih—untuk memulai lagi membaca dan menulis ada semacam kemalasan (beban
berat) yang melanda diri kita.
4
Apabila Anda ingin mencoba memahami konsep mengikat makna dan kemudian
secara perlahan-lahan menerapkannya, perhatikanlah ihwal peraihan makna itu. Mengikat
makna tidak mengajarkan atau melatihkan kegiatan membaca dan menulis. Mengikat
makna ingin menunjukkan kepada Anda bahwa kebermaknaan (sesuatu yang sangat
penting dan berharga) dapat diraih lewat kegiatan membaca dan menulis yang
disatupadukan. Maknalah yang akan menggerakkan diri Anda untuk terus
membiasakan diri membaca dan menulis. Maknalah yang akan membangkitkan
antusiasme Anda untuk secara kontinu dan konsisten berlatih membaca dan
menulis. Dan hanya maknalah yang akan membuat diri Anda bahagia—apa pun yang
Anda kerjakan.
5
Hasil-hasil kegiatan mengikat makna sering saya sebut sebagai “ikatan
makna”. Ini bukan sekadar catatan, resensi, ikhtisar, kesimpulan, atau apalah
istilahnya. Bentuknya memang tulisan, tapi tulisan itu merekam sesuatu yang
sangat penting dan berharga yang berasal dari diri pribadi Anda. “Ikatan makna”
disarankan untuk ditulis secara sangat personal dengan menggunakan kata ganti
orang pertama, “Aku” atau “Saya”. Contoh: “Aku baru saja membaca novel Laskar
Pelangi; apa yang kudapat ya dari novel tersebut? Oh, di halaman 230
(misalnya), aku terkesan dengan tokoh bernama Lintang. Semangat belajarnya luar
biasa. Bla-bla-bla….” Jadi, selain menggunakan kata ganti orang pertama
(“Aku”), sebuah “ikatan makna” yang baik perlu diawali dengan pertanyaan. Selebihnya,
“ikatan makna” dibuat sesuai dengan keinginan si pelaku mengikat makna.
6
Membaca dan menulis itu merupakan keterampilan. Jadi, jika kita tidak
melatih diri kita—dalam membaca dan menulis—ya kita tidak akan memiliki
keterampilan tersebut. Apabila kita tak memiliki keterampilan membaca dan menulis,
tentulah kita akan kepayahan—atau bahkan tersiksa—dalam menjalankan kegiatan
membaca dan menulis. Membaca buku-buku akademis menjadi sangat berat dan
membebani. Menulis pun menjadi tersendat-sendat, tidak nyaman, dan membuat
frustrasi. Jika toh akhirnya dapat menghasilkan tulisan, tulisan itu membuat
diri menjadi tidak percaya diri, dan sebagainya. Saya menggunakan konsep
mengikat makna untuk meningkatkan keterampilan membaca sekaligus menulis. Mengikat
makna saya disiplinkan untuk saya lakukan setiap hari. “Ikatlah ilmu dengan
menuliskannya” (kata-kata Sayyidina Ali bin Abi Thalib r.a.) ini menjadi
fondasi saya untuk membaca dan menuliskan (mengikat) hasil yang saya baca
setiap hari. Mendapatkan ilmu menjadi pendorong dan pembangkit semangat saya
untuk terus membaca dan menuliskan apa yang saya baca.
7
Setelah bertahun-tahun menjalankan kegiatan mengikat makna, saya pun
tertarik untuk mengaitkan kegiatan membaca dan menulis yang disatupadukan ini
dengan kata-kata Stephen R. Covey, penulis The 7 Habits of Highly Effective
People. Menurut Covey, “Kemenangan publik mustahil diraih sebelum kemenangan
pribadi. Anda tidak dapat membalik soal ini: Jika ingin memetik buah, Anda
harus menanam terlebih dahulu.” Bagi saya, kemenangan publik adalah
keberhasilan seseorang dalam mempublikasikan tulisan-tulisannya. Misalnya, Anda
berhasil membuat buku dan buku itu banyak diminati konsumen. Atau, artikel
ciptaan Anda sukses menembus harian nasional, Kompas. Nah, untuk meraih
kemenangan publik, Anda perlu meraih terlebih dahulu kemenangan pribadi. Kemenangan
pribadi adalah kesuksesan Anda dalam mengalahkan kemalasan berlatih membaca dan
menulis di “ruang privat”. Ingat, membaca dan menulis adalah keterampilan. Anda
tidak dapat sukses di luar tanpa meraih sukses terlebih dahulu di dalam. Hanya
dengan berlatih membaca dan menulis di “ruang privat”-lah Anda dapat menemukan
kepercayaan diri. Berlatih mengikat makna di “ruang privat” ini kemudian saya
istilahkan sebagai MUDS (Menulis untuk Diri Sendiri). MUDS yang dibiasakan
setiap hari adalah bukti bahwa kesuksesan di dalam (kemenangan pribadi) telah
berhasil Anda raih.
8
Pada 2011, usia konsep mengikat makna hampir mencapai 10 tahun. Selama 10
tahun itu, saya terus memperbaiki konsep dan penerapannya. Perbaikan itu saya
lakukan karena saya sering diminta untuk memberikan pelatihan membaca dan
menulis berbasis mengikat makna. Lewat interaksi yang intensif dengan para
peserta pelatihan, saya kemudian mendapatkan gagasan-gagasan baru guna
memperbaiki konsep saya. Bagaimana saya mendapatkan gagasan baru? Saya
mendapatkan gagasan baru lewat pemberian pengalaman menulis—bukan teori
menulis. Setiap kali memberikan pelatihan menulis, saya juga mengajak para
peserta untuk berpraktik mengikatmakna. Nah, ketika saya mencetuskan pertama
kali konsep mengikat makna, tepatnya pada 12 Juli 2001, saya sudah menyimpan
banyak sekali gagasan. Salah satu gagasan yang berkembang kemudian adalah
tentangQuantum Reading dan Quantum Writing—bagaimana membaca dan menulis yang
dapat melejitkan potensi diri. Pada 2004, saya membuat Mengikat Makna untuk
Remaja. Ini buku mengikat makna yang sangat praktis. Lalu pada 2005, saya
membuat Mengikat Makna Sehari-hari. Buku ini mengajak siapa saja untuk memetik
manfaat membaca dan menulis dengan cara memecahkan setiap problem membaca dan
menulis. Dan pada 2009, saya membuat Mengikat Makna Update. Buku ini merupakan
perkembangan mutakhir konsep mengikat makna. Konsepmengikat makna saya
kembangkan dengan menggunakan “alat” canggih bernama “mindmapping” (pemetaan
pikiran) temuan Tony Buzan.
9
Sekali lagi, gagasan tentang mengikat makna ini muncul berkat kata-kata Sayyidina
Ali bin Abi Thalib r.a., “Ikatlah ilmu dengan menuliskannya.” Lantas, saya juga
diyakinkan oleh ahli linguistik, Dr. Stephen D. Krashen, lewat riset yang
dibukukan dengan judul The Power of Reading, bahwa ada hubungan antara membaca
dan menulis. Menurut Dr. Krashen, hampir semua orang yang berhasil memiliki
kemampuan menulis diakibatkan oleh kegiatan membacanya.
Dengan berjalannya waktu, saya terus mengumpulkan pengalaman para ahli
dalam menjalankan kegiatan membaca dan menulis. Saya membaca buku-buku yang
membahas kegiatan membaca dan menulis yang disoroti dari pelbagai disiplin
ilmu. Dari Dr. James W. Pennebaker, seorang psikolog peneliti, saya
memperoleh sebuah hasil riset yang dahsyat bahwa menulis dapat menyembuhkan
(lihat bukunya, Opening Up: The Healing Power of Expressing Emotions, The
Guilford Press, New York ,
1997).
Lantas dari Natalie Goldberg
(seorang instruktur menulis-bebas yang sangat terkenal di Amerika Serikat) dan
Peter Elbow (seorang akademisi) saya diajari bagaimana mengawali menulis dengan
menggunakan teknik “membuang” apa saja yang ada di dalam pikiran (lihat
Goldberg, Writing Down the Bones: Freeing the Writer Within, Shambala
Publications Inc., Massachusetts, 1986, dan Elbow, Writing without Teachers,
Oxford University Press, New York, 1998).
Lewat riset-riset neurologis, salah satunya ditunjukkan oleh Roger Sperry,
saya pun dapat menulis dengan menggunakan dua belahan otak kiri dan kanan
(lihat Bobbi DePorter dan Mike Hernacki, Quantum Learning, Kaifa, Bandung,
1999). Saya juga dapat membaca dan menulis dengan memanfaatkan kecerdasan
majemuk (multiple intelligences) temuan Howard Gardner (lihat Thomas Armstrong,
Sekolah Para Juara: Menerapkan “Multiple Intelligences” di Dunia Pendidikan,
Kaifa, Bandung, 2002).
10
Akhirnya, konsep mengikat makna ini memang tak berhenti pada kegiatan
membaca dan menulis untuk keperluan membuat skripsi atau menulis artikel di
media massa. Memiliki kemampuan membaca dan menulis untuk menulis skripsi dan
karya ilmiah jelas sangat penting. Namun, saya ingin mengajak Anda semua untuk
menjadikan kegiatan membaca dan menulis tak hanya sebatas untuk itu atau
berhenti di situ.
Izinkan, di sini, saya mengutip kata-kata Prof. Dr. Riris K.
Toha-Sarumpaet—Guru Besar Fakultas Ilmu Pentetahuan Budaya Universitas
Indonesia—yang ada di sampul belakang buku Mengikat Makna Update (Kaifa, 2009):
“Hernowo tak hanya bicara tentang keterampilan baca-tulis; lebih dari itu, dia
terutama bicara tentang sebuah kehidupan yang bermakna.”
Terus terang, dalam Mengikat Makna Update, saya memanfaatkan membaca dan
menulis untuk meraih kebahagiaan. Saya ingin mengutip komentar Arvan
Pradiansyah, penulis buku bestseller The 7 Laws of Happinessyang juga ada di
buku Mengikat Makna Update: “Hernowo menulis buku yang sangat menarik yang
dapat mengubah paradigma Anda mengenai membaca dan menulis. Dua kegiatan ini
bukanlah untuk orang-orang tertentu saja, tetapi untuk siapa pun yang ingin
menemukan jati diri dan meraih kebahagiaan yang sejati.”[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar