Powered By Blogger

Selasa, 04 Juni 2013

10 Prinsip dan Manfaat Mengikat Makna




Oleh Hernowo



[Pada 23 dan 24 Juni 2011, saya diundang oleh Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Syaikh Abdurrahman Siddik Bangka Belitung untuk menyampaikan prinsip-prinsip “Mengikat Makna”. Saya kemudian melatihkan sekaligus meminta para peserta pelatihan membaca-menulis yang dipadukan itu untuk sekaligus merasakan manfaatnya.]


1
Mengikat makna adalah konsep membaca dan menulis yang disatupadukan yang telah membantu saya dalam mengenali diri saya dan, khususnya, memudahkan saya dalam rangka mencuatkan pelbagai potensi diri yang saya miliki. “Kita membaca buku untuk mencari tahu tentang diri kita sendiri. Apa yang dilakukan, dipikirkan, dan dirasakan oleh orang-orang lain—entah mereka nyata atau imajiner—merupakan petunjuk yang sangat penting terhadap pemahaman kita mengenai siapa sebenarnya diri kita ini dan bisa menjadi seperti apakah kita,” ujar Ursula K. Leguin. Sementara itu, menulis adalah menyusun (mengonstruksi) dan merumuskan diri saya ketika saya mengeluarkan sesuatu yang telah saya pahami dengan baik yang berasal dari kegiatan membaca ataupun dari kegiatan mendengar, melihat, merasakan, dan sebagainya.

2
Setelah berkali-kali menerapkan konsep mengikat makna—setiap kali usai membaca, saya pun menuliskan hasil-hasil membaca saya dan sebelum memulai menulis, saya pun membaca buku terlebih dahulu—saya merasakan sekali bahwa membaca memerlukan menulis (agar yang telah saya baca tidak hilang) dan menulis memerlukan membaca (karena membaca adalah memasukkan kata-kata ke dalam diri sementara menulis adalah mengeluarkan diri dengan bantuan kata-kata yang sudah tersimpan di dalam diri). Prinsip ini memberikan manfaat luar biasa ketika saya membaca dan menulis. Salah satu manfaat luar biasa itu adalah saya menjadi berdaya—tidak loyo dan malas dalam melakukannya.

3
Menjalankan kegiatan mengikat makna memberikan semacam pengalaman yang sangat berharga bagi diri saya. Pengalaman itu berupa pemberitahuan (alarm) bahwa bukan kegiatan membaca dan menulisnya yang penting, melainkan kegiatan meraih maknalah yang harus dipentingkan. Membaca dan, apalagi, menulis adalah kegiatan yang tidak ringan. Kedua kegiatan ini memerlukan pemikiran yang sangat tinggi serta, kadang, menguras waktu dan tenaga. Apabila kita menjalankan baik kegiatan membaca maupun menulis dan kemudian dari kegiatan itu kita tidak mendapatkan sesuatu yang penting dan berharga (makna), kita pun akan berhenti menjalankannya. Ada kemungkinan—sekali lagi jika kebermaknaan itu tidak dapat kita raih—untuk memulai lagi membaca dan menulis ada semacam kemalasan (beban berat) yang melanda diri kita.

4
Apabila Anda ingin mencoba memahami konsep mengikat makna dan kemudian secara perlahan-lahan menerapkannya, perhatikanlah ihwal peraihan makna itu. Mengikat makna tidak mengajarkan atau melatihkan kegiatan membaca dan menulis. Mengikat makna ingin menunjukkan kepada Anda bahwa kebermaknaan (sesuatu yang sangat penting dan berharga) dapat diraih lewat kegiatan membaca dan menulis yang disatupadukan. Maknalah yang akan menggerakkan diri Anda untuk terus membiasakan diri membaca dan menulis. Maknalah yang akan membangkitkan antusiasme Anda untuk secara kontinu dan konsisten berlatih membaca dan menulis. Dan hanya maknalah yang akan membuat diri Anda bahagia—apa pun yang Anda kerjakan.

5
Hasil-hasil kegiatan mengikat makna sering saya sebut sebagai “ikatan makna”. Ini bukan sekadar catatan, resensi, ikhtisar, kesimpulan, atau apalah istilahnya. Bentuknya memang tulisan, tapi tulisan itu merekam sesuatu yang sangat penting dan berharga yang berasal dari diri pribadi Anda. “Ikatan makna” disarankan untuk ditulis secara sangat personal dengan menggunakan kata ganti orang pertama, “Aku” atau “Saya”. Contoh: “Aku baru saja membaca novel Laskar Pelangi; apa yang kudapat ya dari novel tersebut? Oh, di halaman 230 (misalnya), aku terkesan dengan tokoh bernama Lintang. Semangat belajarnya luar biasa. Bla-bla-bla….” Jadi, selain menggunakan kata ganti orang pertama (“Aku”), sebuah “ikatan makna” yang baik perlu diawali dengan pertanyaan. Selebihnya, “ikatan makna” dibuat sesuai dengan keinginan si pelaku mengikat makna.

6
Membaca dan menulis itu merupakan keterampilan. Jadi, jika kita tidak melatih diri kita—dalam membaca dan menulis—ya kita tidak akan memiliki keterampilan tersebut. Apabila kita tak memiliki keterampilan membaca dan menulis, tentulah kita akan kepayahan—atau bahkan tersiksa—dalam menjalankan kegiatan membaca dan menulis. Membaca buku-buku akademis menjadi sangat berat dan membebani. Menulis pun menjadi tersendat-sendat, tidak nyaman, dan membuat frustrasi. Jika toh akhirnya dapat menghasilkan tulisan, tulisan itu membuat diri menjadi tidak percaya diri, dan sebagainya. Saya menggunakan konsep mengikat makna untuk meningkatkan keterampilan membaca sekaligus menulis. Mengikat makna saya disiplinkan untuk saya lakukan setiap hari. “Ikatlah ilmu dengan menuliskannya” (kata-kata Sayyidina Ali bin Abi Thalib r.a.) ini menjadi fondasi saya untuk membaca dan menuliskan (mengikat) hasil yang saya baca setiap hari. Mendapatkan ilmu menjadi pendorong dan pembangkit semangat saya untuk terus membaca dan menuliskan apa yang saya baca.

7
Setelah bertahun-tahun menjalankan kegiatan mengikat makna, saya pun tertarik untuk mengaitkan kegiatan membaca dan menulis yang disatupadukan ini dengan kata-kata Stephen R. Covey, penulis The 7 Habits of Highly Effective People. Menurut Covey, “Kemenangan publik mustahil diraih sebelum kemenangan pribadi. Anda tidak dapat membalik soal ini: Jika ingin memetik buah, Anda harus menanam terlebih dahulu.” Bagi saya, kemenangan publik adalah keberhasilan seseorang dalam mempublikasikan tulisan-tulisannya. Misalnya, Anda berhasil membuat buku dan buku itu banyak diminati konsumen. Atau, artikel ciptaan Anda sukses menembus harian nasional, Kompas. Nah, untuk meraih kemenangan publik, Anda perlu meraih terlebih dahulu kemenangan pribadi. Kemenangan pribadi adalah kesuksesan Anda dalam mengalahkan kemalasan berlatih membaca dan menulis di “ruang privat”. Ingat, membaca dan menulis adalah keterampilan. Anda tidak dapat sukses di luar tanpa meraih sukses terlebih dahulu di dalam. Hanya dengan berlatih membaca dan menulis di “ruang privat”-lah Anda dapat menemukan kepercayaan diri. Berlatih mengikat makna di “ruang privat” ini kemudian saya istilahkan sebagai MUDS (Menulis untuk Diri Sendiri). MUDS yang dibiasakan setiap hari adalah bukti bahwa kesuksesan di dalam (kemenangan pribadi) telah berhasil Anda raih.

8
Pada 2011, usia konsep mengikat makna hampir mencapai 10 tahun. Selama 10 tahun itu, saya terus memperbaiki konsep dan penerapannya. Perbaikan itu saya lakukan karena saya sering diminta untuk memberikan pelatihan membaca dan menulis berbasis mengikat makna. Lewat interaksi yang intensif dengan para peserta pelatihan, saya kemudian mendapatkan gagasan-gagasan baru guna memperbaiki konsep saya. Bagaimana saya mendapatkan gagasan baru? Saya mendapatkan gagasan baru lewat pemberian pengalaman menulis—bukan teori menulis. Setiap kali memberikan pelatihan menulis, saya juga mengajak para peserta untuk berpraktik mengikatmakna. Nah, ketika saya mencetuskan pertama kali konsep mengikat makna, tepatnya pada 12 Juli 2001, saya sudah menyimpan banyak sekali gagasan. Salah satu gagasan yang berkembang kemudian adalah tentangQuantum Reading dan Quantum Writing—bagaimana membaca dan menulis yang dapat melejitkan potensi diri. Pada 2004, saya membuat Mengikat Makna untuk Remaja. Ini buku mengikat makna yang sangat praktis. Lalu pada 2005, saya membuat Mengikat Makna Sehari-hari. Buku ini mengajak siapa saja untuk memetik manfaat membaca dan menulis dengan cara memecahkan setiap problem membaca dan menulis. Dan pada 2009, saya membuat Mengikat Makna Update. Buku ini merupakan perkembangan mutakhir konsep mengikat makna. Konsepmengikat makna saya kembangkan dengan menggunakan “alat” canggih bernama “mindmapping” (pemetaan pikiran) temuan Tony Buzan.

9
Sekali lagi, gagasan tentang mengikat makna ini muncul berkat kata-kata Sayyidina Ali bin Abi Thalib r.a., “Ikatlah ilmu dengan menuliskannya.” Lantas, saya juga diyakinkan oleh ahli linguistik, Dr. Stephen D. Krashen, lewat riset yang dibukukan dengan judul The Power of Reading, bahwa ada hubungan antara membaca dan menulis. Menurut Dr. Krashen, hampir semua orang yang berhasil memiliki kemampuan menulis diakibatkan oleh kegiatan membacanya.

Dengan berjalannya waktu, saya terus mengumpulkan pengalaman para ahli dalam menjalankan kegiatan membaca dan menulis. Saya membaca buku-buku yang membahas kegiatan membaca dan menulis yang disoroti dari pelbagai disiplin ilmu. Dari Dr. James W. Pennebaker, seorang psikolog peneliti, saya memperoleh sebuah hasil riset yang dahsyat bahwa menulis dapat menyembuhkan (lihat bukunya, Opening Up: The Healing Power of Expressing Emotions, The Guilford Press, New York, 1997).

Lantas dari Natalie Goldberg (seorang instruktur menulis-bebas yang sangat terkenal di Amerika Serikat) dan Peter Elbow (seorang akademisi) saya diajari bagaimana mengawali menulis dengan menggunakan teknik “membuang” apa saja yang ada di dalam pikiran (lihat Goldberg, Writing Down the Bones: Freeing the Writer Within, Shambala Publications Inc., Massachusetts, 1986, dan Elbow, Writing without Teachers, Oxford University Press, New York, 1998).

Lewat riset-riset neurologis, salah satunya ditunjukkan oleh Roger Sperry, saya pun dapat menulis dengan menggunakan dua belahan otak kiri dan kanan (lihat Bobbi DePorter dan Mike Hernacki, Quantum Learning, Kaifa, Bandung, 1999). Saya juga dapat membaca dan menulis dengan memanfaatkan kecerdasan majemuk (multiple intelligences) temuan Howard Gardner (lihat Thomas Armstrong, Sekolah Para Juara: Menerapkan “Multiple Intelligences” di Dunia Pendidikan, Kaifa, Bandung, 2002).


10
Akhirnya, konsep mengikat makna ini memang tak berhenti pada kegiatan membaca dan menulis untuk keperluan membuat skripsi atau menulis artikel di media massa. Memiliki kemampuan membaca dan menulis untuk menulis skripsi dan karya ilmiah jelas sangat penting. Namun, saya ingin mengajak Anda semua untuk menjadikan kegiatan membaca dan menulis tak hanya sebatas untuk itu atau berhenti di situ.

Izinkan, di sini, saya mengutip kata-kata Prof. Dr. Riris K. Toha-Sarumpaet—Guru Besar Fakultas Ilmu Pentetahuan Budaya Universitas Indonesia—yang ada di sampul belakang buku Mengikat Makna Update (Kaifa, 2009): “Hernowo tak hanya bicara tentang keterampilan baca-tulis; lebih dari itu, dia terutama bicara tentang sebuah kehidupan yang bermakna.”

Terus terang, dalam Mengikat Makna Update, saya memanfaatkan membaca dan menulis untuk meraih kebahagiaan. Saya ingin mengutip komentar Arvan Pradiansyah, penulis buku bestseller The 7 Laws of Happinessyang juga ada di buku Mengikat Makna Update: “Hernowo menulis buku yang sangat menarik yang dapat mengubah paradigma Anda mengenai membaca dan menulis. Dua kegiatan ini bukanlah untuk orang-orang tertentu saja, tetapi untuk siapa pun yang ingin menemukan jati diri dan meraih kebahagiaan yang sejati.”[]


Tidak ada komentar:

Posting Komentar