Aku ingin
mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang
tak sempat diucapkan
kayu kepada api
yang menjadikannya abu.
Aku ingin
mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat
yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan
yang menjadikannya tiada.
Pada suatu hari
nanti,
Jasadku tak akan
ada lagi,
Tapi dalam
bait-bait sajak ini,
Kau tak akan
kurelakan sendiri.
Pada suatu hari
nanti,
Suaraku tak
terdengar lagi,
Tapi di antara
larik-larik sajak ini.
Kau akan tetap
kusiasati,
Pada suatu hari
nanti,
Impianku pun tak
dikenal lagi,
Namun di
sela-sela huruf sajak ini,
Kau tak akan
letih-letihnya kucari.
Hujan mengenal
baik pohon, jalan, dan selokan
-- swaranya bisa
dibeda-bedakan;
kau akan
mendengarnya meski sudah kaututup pintu dan jendela.
Meskipun sudah
kau matikan lampu.
Hujan, yang tahu
benar membeda-bedakan, telah jatuh di pohon, jalan, dan selokan
- - menyihirmu
agar sama sekali tak sempat mengaduh
waktu menangkap
wahyu yang harus kaurahasiakan.
"Air yang di
selokan itu mengalir dari rumah sakit," katamu pada suatu hari minggu
pagi. Waktu itu kau berjalanjalan bersama istrimu yang sedang mengandung
-- ia hampir
muntah karena bau sengit itu.
Dulu di selokan
itu mengalir pula air yang digunakan untuk memandikanmu waktu kau lahir: campur
darah dan amis baunya. Kabarnya tadi sore mereka sibuk memandikan mayat di kamar
mati.
Senja ini ketika
dua orang anak sedang berak di tepi selokan itu, salah seorang tiba-tiba
berdiri dan menuding sesuatu:
"Hore, ada
nyawa lagi terapung-apung di air itu -- alangkah indahnya!"
Tapi kau tak
mungkin lagi menyaksikan yang berkilau-kilauan hanyut di permukaan air yang
anyir baunya itu, sayang sekali.
Perahu Kertas, Kumpulan Sajak, 1982.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar